Ini kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini).
Mengapa novelis terke...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pekan kedua Mei 1990, geng Eva sibuk belajar kelompok. Ebtanas SMP tinggal beberapa hari lagi. Saat itulah Eva sering tidak minum obat. Lupa membawa obat, jika menginap di rumah teman belajar kelompok.
Pangkalnya, menurut catatan Eva, usia kini tinggal 86 hari lagi. Hidup akan berakhir di kelas satu SMA nanti. Mungkin karena hitungan itu dia mengabaikan disiplin. Buat apa lagi minum obat jika hidup tinggal sebentar?.
Bisa juga Eva mulai bosan. Memang, hampir setiap hari Mama terus-menerus mengomel mengingatkan Eva minum obat, dan bahaya jika mengabaikan.
Tapi, menelan 15 butir campuran kapsul-tablet per hari, terus-menerus, sungguh bukan hal mudah. Tenggorokan mati rasa. Bosan merasa enek. Bersendawa pun rasa obat.
Sabtu, 26 Mei 1990, dua hari jelang ujian Ebtanas, Eva demam.
Sugiarti kelabakan bingung. Menyesal, karena sekarang jelang ujian. Mengomeli Eva habis-habisan, karena ketahuan mengabaikan obat. Membawanya ke RSI. Tiba disana, dokter interview Sugiarti lagi, membuka file rekam medik, Eva diperiksa teliti.
Setiap diwawancarai dokter, Sugiarti selalu gemetar. Bakal ada vonis apa lagi ini? Kemana arah Lupus menyerang? Seberapa besar kerusakannya? Ampuni aku, Ya Allah... lindungilah anakku.
Dokter mempertimbangkan dua hal: Langkah cepat penyembuhan, karena darurat jelang pasien ikut ujian Ebtanas. Tapi, betapa pun percepatan tidak mungkin dipaksakan. Keduanya harus seimbang.
Berdasar hasil pemeriksaan, Eva tidak parah. Diberikan injeksi, dia sudah boleh pulang. Tentu, dibekali segepok obat tambahan.
Benar saja. Esok, Minggu demam turun. Eva kembali sehat. Senin sudah bertempur di ujian selama empat hari.
Selesai ujian semua lega. Geng Eva merasa sudah maksimal mengerahkan kemampuan hasil belajar mereka. Tapi...
2 Juni 1990 (tiga hari pasca ujian) Eva demam lagi, langsung pingsan. Kali ini diikuti kejang-kejang. Dilarikan ke RSI lagi. Diperiksa dokter sebentar, langsung dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Sugiarti takut setengah mati.
Perpindahan ke RSCM menandakan RSI berkesimpulan bahwa kondisi Eva gawat. RSCM sering jadi rujukan terakhir pasien-pasien parah. Sugiarti terus menangis sepanjang perjalanan di ambulance.
Dokter jaga RSCM memeriksa Eva, setelah meneliti medical record. Disenter ruam kemerahan di pipi kiri-kanan. Sudut-sudut mata jelas berwarna kekuning-kuningan. Kuku tangan dan kaki juga bersemu kuning.
Dokter memastikan, harus rawat inap.
"Apakah tidak bisa berobat jalan, Dok?" tanya Sugiarti.
"Tidak bisa."
"Sakitnya apa, Dok?"
"Harus diperiksa dulu. Diduga, kelainan darah atau anemia. Lupusnya kambuh. Untuk kepastian harus melihat hasil pemeriksaan darah lengkap dan urine."