Jelang akhir tahun 2013 dia ingin mengulang sensasi terbang bagai kupu kupu. Ternyata tidak perlu ke Bali. Dari teman, dia tahu ada terjun payung serupa di Bali.
Lokasi di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Kalau di Bali disebut parasailing, di Puncak namanya paralayang.
Sabtu pagi, saat dia ke Markas Dahlanis, di Jakarta, kantor tutup terkunci. Hendak pulang sudah tanggung, terlanjur keluar rumah.
Dia putuskan, naik kendaraan umum ke Puncak. Penasaran, ingin mencoba terbang bersama paralayang. Rindu jadi kupu-kupu. Nanan tidak suka ketinggian, maka tak perlu diajak.
Lokasi di Bukit Gantolle, Gunung Mas, Puncak, Bogor. Jaraknya sekitar 40 kilometer dari Jakarta.
Tiba di lokasi ternyata harus antri, persis seperti di Bali. Bedanya, di Bali laut, ini gunung. Tarif lebih murah dibanding di Bali. Disini terbang tandem bersama seorang instruktur.
Di kerumunan orang, Eva menyaksikan ada briefing instruktur kepada para calon penerbang.
Cara terbang diawali lari di bukit. Lari kencang. Menjelang sampai bibir jurang, parasut sudah melayang dan penumpang terangkat. Wuiiih... menguji adrenalin.
Eva bersiap-siap mendaftar.
Syaratnya: Menanda-tangani surat perjanjian, bahwa peserta tidak akan menuntut secara hukum terhadap penyelenggara, jika terjadi musibah kecelakaan. Dan, biaya terbang sudah termasuk asuransi jiwa. Ngeri juga.
Seorang pemuda instruktur menasihati Eva:
"Nggak usah takut, Bu. Didampingi instruktur bersertifikat FASI (Federasi Aero Sport Indonesia). Tinggal ikuti petunjuk instruktur, semua aman," kata pemuda itu.
Instruktur menjelaskan, Eva tidak perlu khawatir parasut bakal merosot ke bawah tiba-tiba. Tidak mungkin. "Parasut otomatis terangkat ke udara akibat geothermal, atau panas bumi, Bu. Jadi, tidak mengandalkan angin," tuturnya.
Dijelaskan, tekanan geothermal tertinggi antara pukul 11.00 sampai 14.00. Pada kurun waktu itulah paling ideal terbang paralayang. Di luar waktu tersebut, tetap bisa terbang, tapi tekanan panas bumi tidak sekuat kurun waktu ideal.
Eva tanda-tangan. Menunggu antrian.
Petugas juga mengukur kecepatan angin dengan alat sebesar HP. Kalau angin terlalu kencang, peserta tidak diberangkatkan.
Jelang tengah hari giliran Eva. Dia siap jadi kupu.
Dia mengenakan harness, bakal tempat duduk saat terbang. Instruktur di belakang, memerintahkan jalan. Eva jalan. Lalu diperintahkan lari, Eva lari sekuat tenaga.
Tahu-tahu, plaaas... tubuh terangkat parasut.
Dia menoleh, instruktur terkait di belakang. Instruktur segera menyapa: "Tenang aja, Bu. Jangan panik," kata instruktur pria usia 30-an.
Dijelaskan instruktur, kini mereka di ketinggian sekitar 1.300 meter dpl. Angin bertiup kecepatan sedang. Cuaca cerah. Tekanan geothermal pada posisi puncak. Sementara, lokasi pendaratan (nanti) di kaki Gunung Mas di ketinggian 1.000 dpl. Instruktur menunjuk arah barat.
Eva tidak mendengarkan lagi penjelasan instruktur. Telinga seolah tuli. Karena dia konsentrasi menikmati keindahan alam. Luar biasa. Fantastis.
Angin gunung serasa bertiup kencang, mengibar-kibarkan pakaian dan jilbab. Sejuk menyergap dada. Hutan hijau terhampar luas membentang. Diwarnai titik-titik merah, atap rumah.
Parasut mengayun kiri-kanan. Tubuh Eva bergoyang ringan, beringsut pelan bagai kapas. Ujung cakrawala disana serasa dekat. Berupa garis sangat panjang. Pemisah bumi dan langit.
Beginikah yang dirasakan kupu kupu saat terbang? Betapa indah.
Mungkin begini juga ketika roh meninggalkan jasad.
Seperti, Eva membaca di banyak buku, di banyak film, tentang cerita orang mati suri. Melayang lembut selembut asap. Bebas lepas, meninggalkan hukum gravitasi bumi. Meninggalkan problem kehidupan dunia fana.
Dia seolah melakukan gladi resik perpisahan roh dengan badan. Dia seolah melakukan gladi resik kematian.
Dia merasa begitu dekat dengan Sang Khalik, pencipta alam semesta dan seluruh isinya. Dekat teramat dekat.
Namun gladi resik harus segera berakhir, ketika tubuh mendekati titik pendaratan.
Tampak, lapangan coklat kemerahan, karena tanah gundul dari rumput. Beberapa orang panitia paralayang bergerombol disitu.
"Angkat kedua kaki..." teriak instruktur di belakang.
Eva menuruti perintah.
Di saat bersamaan, tubuh dengan cepat tertarik ke bawah mendekati landasan. Hukum gravitasi bumi menyedot kuat tubuh mereka.
"Awas... siap-siap lari," perintah instruktur. Lantas: "Lari...."
Dan, jleb.... Kaki menyentuh bumi.
Seketika dia lari untuk menghindari terlilit tali parasut. Beberapa orang panitia disana bergerak menarik tali parasut, kemudian melipat parasut agar tak kabur lagi tertiup angin.
Sekarang baru terasa nyeri di lutut Eva. Juga di persendian lengan sampai jari.
Dia jalan terpincang-pincang ke bawah pohon yang teduh. Beberapa lelaki membimbing. Mereka mengira Eva terkilir. Padahal Eva menghindari terik matahari.
------------------Lari ke 64 Selamat... Kegembiraan pun datang lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
728 HARI
RomanceIni kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini). Mengapa novelis terke...