21 Juni 1990 BMP dilaksanakan.
"Kencing dan BAB dulu, sebelum masuk ruang BMP." Perintah dr Chaterine yang membuat Eva keder.
Eva merasa akan melakukan suatu adegan berbahaya. Dia turuti perintah di toilet kamarnya, sebelum berangkat ke ruang BMP.
Di depan Ruang BMP, kedatangan Eva dan Mama disambut beberapa orang. Ada dr Chaterine, dan lima anak muda (tiga pria dua wanita) serta dua wanita seragam suster.
dr Chaterine memperkenalkan, lima anak muda itu adalah mahasiswa FKUI yang dalam pelaksanaan BMP nanti hanya melihat, dan sedikit membantu dokter. Pelaksana BMP adalah dokter senior, Abidin Widjanarko.
Banyak pasien tidak paham bahwa RSCM jenis teaching hospital. Disitulah mahasiswa FKUI tingkat akhir belajar. Tidak semua pasien dijadikan praktik. Tindakan medis serius seperti BMP, mereka hanya membantu dokter untuk hal-hal kecil.
"Eva silakan masuk, Ibu menunggu disini. Sebentar lagi dokter Abidin Widjanarko akan datang," kata dr Chaterine, mengatur.
Semua masuk ruangan, kecuali Sugiarti. Sebelum masuk, mereka melepas alas kaki masing-masing, mengenakan jubah longgar warna hijau. Eva sudah mengenakan sejak dari kamarnya. Sugiarti duduk di ruang tunggu.
Di dalam ruangan khusus BMP sangat dingin. Berukuran sekitar 5 X 8 meter. Bau obat menyengat.
Hanya ada satu bed disitu, persis di bawah lampu bercerobong yang terang-benderang menyinari bed. Sebuah meja kecil beroda di dekat bed. Di atas meja berjajar baki-baki stainless steel. Sebuah lemari besi besar kuno di pojok. Meja mikroskop di sebelahnya.
dr Chaterine menyilakan Eva rebahan di bed. Seorang suster membuka lemari, mengambil peralatan.
Disitulah Eva melihat sebentuk bor stainless steel mengkilat.
Tidak sebesar bor untuk melubangi tembok. Sedikit lebih kecil. Namun mata bor panjang sekali. Dua kali lebih pnjang dibanding bor tembok.
Alat itu diletakkan di baki yang sudah dialasi kain putih. Beberapa peralatan logam lain diletakkan berjajar di baki-baki yang dialasi kain putih. Diantaranya tampak alat suntik, namun sekitar tiga kali lebih besar dari alat suntik biasa.
dr Abidin Widjanarko masuk, menyapa ramah ke Eva. Berterima kasih kepada dr Chaterine yang kemudian keluar ruangan. Para mahasiswa langsung berkerumun mengelilingi bed. Eva kelihatan grogi.
"Sudah kelas berapa?" tanya dr Abidin.
"Kelas tiga SMP, Dok."
"O, habis ujian, ya? Kira-kira lulus nggak?"
"Insya Allah lulus."
"Bagus, bagus. Sekarang kita mulai, ya... Bismillah..."
Dokter berwajah tampan ini tidak banyak bicara. Tapi ramah. Sapaannya pendek saja. Tapi cukup membuat Eva merasa diperhatikan.
Eva membaca doa singkat, lalu tidur miring. Menekuk badan seperti membungkuk. Posisi ini membuat tulang belakang yang berbuku-buku itu jadi menonjol.
Dokter membuka kancing jubah Eva bagian belakang. Lantas mengoleskan cairan warna ungu di kulit tulang belakang.
Usai pengolesan, Eva merasakan dingin sekali, lalu sakit menyengat punggung. Seperti disuntik. Dia tersentak kaget.
"Dibius dulu, ya," ujar dokter yang jelas-jelas terlambat, sebab suntik bius sudah menusuk, baru dia ngomong kemudian.
Lantas dokter mengusap-usap bagian tubuh yang disuntik. Bagian itu disentil-sentil jari dokter, kian lama kian kencang. Eva tak bereaksi sama sekali. Seperti tak terjadi apa-apa.
Di saat bersamaan terdengar motor dinamo mendesing cepat. Bising berdesis. Eva menutup mata, istighfar. Dia merasa, inilah saat pengeboran.
"Tahan sedikit, ya..." ujar dokter.
Mata bor berputar sangat cepat. Dokter mengarahkan ujungnya pada titik yang sudah ditandai. Ujung runcing mengkilat berkilau-kilau, tinggal sesenti lagi menyentuh daging.
Sedetik kemudian terdengar: Ckreeek...
Mata bor sudah terbenam disitu.
Motor dinamo stop. Sepi lagi. Darah tidak muncrat berhamburan. Tidak. Hanya ada percikan kecil memerahi kain hijau. Namun darah meleleh turun, terhisap kain kasa di bawahnya.
Eva merasakan sangat ngilu di punggung. Bukan menyengat seperti saat suntikan bius tadi, tapi ngilu sekali. Seperti terbentur benda tumpul.
Dia mendengar suara dokter Abidin:
"Cepat, ambil sekarang..."
Pemandangan di belakang Eva begini: Mata bor sudah dilepas dari motornya. Kini tampaklah mata bor berbentuk pipa, tertancap di punggung.
Seorang calon dokter wanita memegang alat suntik besar, dengan jarum sangat panjang. Dia pelan-pelan memasukkan jarumnya melalui lubang pipa. Menyedot cairan merah-hitam di dalam.
Eva tentu tak melihat itu. Dia hanya menduga-duga, dokter memerintahkan sesuatu pada mahasiswa di sekitar. Dia terus berdoa, berserah diri kepada Tuhan.
Beberapa saat kemudian dia merasakan ada sesuatu yang bergerak di titik ngilu itu. Sepertinya bergerak berputar.
Di belakang: Mata bor memang diputar kebalikan arah jarum jam, menggunakan alat khusus. Setelah lepas, lubang langsung ditutup sesuatu.
"Sudah selesai..." kata dr Abidin.
Bersamaan, Eva merasakan dingin di punggungnya. Dingin menusuk tulang.
Dia membuka mata, menoleh ke belakang. Suster sedang sibuk melakukan sesuatu di belakang. Dokter sudah menjauh, mengawasi.
Semua proses usai, Eva dipindahkan ke brankar. Tidur dalam posisi telungkup. Brankar didorong suster keluar ruang BMP, menuju kamar Eva.
Sugiarti berjalan mengikuti di belakang. Eva tersenyum melambaikan tangan ke Mama.
Betapa bangga Sugiarti pada anak gadisnya. Tidak disangka, Eva begitu tegar menghadapi tindakan medis yang mengerikan itu. Sugiarti sendiri ke toilet berkali-kali selama proses BMP berlangsung.
Tak terasa air mata meleleh di pipi Sugiarti. Air mata kebanggaan berbalut kepedihan.
---------------- Lanjut ke 15 Dukungan Teman Kuatkan Hatimu
KAMU SEDANG MEMBACA
728 HARI
RomanceIni kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini). Mengapa novelis terke...