Ini kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini).
Mengapa novelis terke...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Esok, pagi-pagi Sugiarti mendatangi ruang dokter. Dadanya selalu bergetar setiap dipanggil dokter. Dia sudah ditunggu dr Abdul Mutholib, salah satu tim dokter Eva. Dokter ini berpembawaan tenang, tak banyak bicara, tapi ramah.
"Selamat pagi, Pak Dokter."
"Pagi, Bu. Silakan duduk."
Mutholib memilah berkas-berkas di meja. Mengambil satu, mengamati berkas itu dari balik kacamata.
"Ibu kelihatan kurang tidur, ya?"
"Ya, Dok. Sudah hampir tiga bulan saya menunggu Eva."
"Semalam Eva tidurnya bagaimana, apakah nyenyak?"
"Sering terbangun, katanya sakit perut."
"Perut Eva memang semakin buncit."
"Ya, Dok. Tolonglah, Dok."
Mutholib serius mengamati berkas di tangan.
Sugiarti paham, dokter akan menyampaikan sesuatu yang mengejutkan dan memberatkan. Tiap kata dokter terdengar bagai petir menyambar bersahut-sahutan.
"Kondisi limpa Eva membengkak, dan terus membesar. Ini yang menyebabkan perut buncit dan pasti menyakitkan," kata dokter.
Mutholib beranjak dari kursi, menenteng dua lembar negatif foto. Dia mendekati dinding ruangan. Pada dinding tertempel kotak persegi panjang, berkaca buram susu. Mirip neon-box nama toko.
Dia merekatkan dua negatif foto disitu. Lantas menekan tombol, lampu menyala dari balik kaca.
Negatif foto disinari lampu dari arah belakang. Tampak jelas dua negatif foto hitam-putih organ dalam manusia. Mutholib mengambil tongkat besi kecil, seperti guru sedang mengajar. Lantas dia mengarahkan tongkat ke foto.
"Ini kondisi kantung limpa Eva. Dan, ini kondisi orang normal," katanya. "Kelihatan jelas bahwa limpa Eva membengkak sebesar ini," tongkat mengitari bagian gambar.
Sugiarti memperhatikan gambar. Memang benar. Kondisi Eva buruk. Gambar limpa Eva melar, lebih besar dibanding limpa di gambar sebelah.
Dada Sugiarti berdebar-debar. Mata serasa berkunang-kunang. Sesuatu akan diputuskan dokter, dan itu bakal mengerikan.
"Nah... menurut pertimbangan kami, sebaiknya dilakukan splenektomi."
Kata terakhir dokter itu, meskipun tak dimengerti Sugiarti, namun vonis menakutkan. Dia memberanikan diri bertanya:
"Apa itu Dok?"
"Operasi pembuangan limpa."
Akhirnya... Sugiarti terkulai di kursi. Tubuh lemas. Tangan mencengkeram pegangan kursi agar tidak jatuh.
"Tolong, Ibu tenangkan perasaan dulu. Ini sama sekali tidak berbahaya, Bu. Biar saya jelaskan," tutur Mutholib.
Sugiarti menangis sejadi-jadinya. Kepala lemas terkulai di pegangan kursi. Tubuh terguncang-guncang, napas tak beraturan.