Ini kisah nyata, dear... Banjir airmata. Tapi, elegan & inspiratif. Tokoh di novel, cewe cantik, jarang nangis. She pejuang kehidupan yg inspiratif (seperti ditulis novelis Agnes Davonar sebagai endorsement di Cover novel ini).
Mengapa novelis terke...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
4 Februari 2001 Abdullah dan Maimunah lesu, sepulang membezuk Eva di RSCM. Sepanjang sejarah 37 tahun pernikahan mereka, kini puncak kegalauan. Di saat Abdullah sudah pensiun.
Dalam perjalanan pulang naik taksi, mereka tidak berkomunikasi. Pikiran mereka berkelana sendiri-sendiri. Bahkan, mereka diam-diaman sejak meninggalkan Nanan, Eva dan Sugiarti di bangsal RSCM, tadi. Kebekuan mereka bawa sampai tiba di rumah.
"Bagaimana kalau mereka menikah nanti, Pak?" tanya Maimunah.
Abdullah menghela napas. Duduk bersandar di teras belakang. Kaki selonjor.
Taman ukuran 5 X 7 meter itu disiram lampu TL 14 watt. Tanaman tampak remang. Buah jeruk nipis bergelantungan masih kelihatan. Kuning, hijau terang. Tapi daunnya gelap rimbun.
Itulah kalimat pertama isteri, sejak dari RSCM tadi. Ini pula yang berlarian di otak mereka masing-masing selama beberapa tahun terakhir. Sepertinya otak mereka sudah lelah, mengolah kemungkinan-kemungkinan. Prediksi-prediksi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Abdullah membuka: "Nanan sudah dewasa, Bu. Dia tahu, apa yang akan dia hadapi nanti."
"Tapi, mengapa dia pilih Eva?"
Suaminya tak menjawab. Dia membayangkan, saat dia akan menikahi Maimunah dulu juga diliputi kegundahan.
Gundah, karena dia masih bekerja serabutan untuk membiayai kuliah di fakultas ekonomi di universitas swasta di Semarang.
Gundah, karena Maimunah hanya tamatan SMA yang intelektualnya tentu tidak seimbang dengannya.
"Dulu, waktu kita pacaran, Ibu juga pernah sakit," kata Abdullah.
"Ya... itu 'kan Tipus. Ini Lupus, Pak...."
Abdullah diam.
Meskipun dia tidak tahu persis penyakit ini, tapi ibu Eva tadi sudah menceritakan bahwa empedu Eva sudah dibuang. Tidak bisa disamakan dengan Tipus.
"Kalau Ibu gelisah, Nanan diajak ngomong lagi," ujar Abdullah.
"Apa perlu kita ajak rundingan sekalian bersama masnya, Pak?"
"Gak usah. Warman juga repot dengan urusan keluarga sendiri. Nanti malah ruwet. Anak-anak kita jadi debat kemana-mana."
Malam itu mereka tidak segera tidur. Menunggu kedatangan Nanan.
Jelang tengah malam Nanan baru tiba di rumah. Maimunah menunggu sampai si bungsu ini mandi dan ganti pakaian. Lalu...
"Mama mau bicara, Nan," sapa Maimunah, sambil duduk di meja makan.
"Ya, Ma. Pasti soal Eva, nih..." ujar Nanan, duduk di depan Mama.
"Mengapa kamu pilih Eva?" tanya Maimunah, tembak langsung.
"Ya... karena aku cinta dia, Ma. Seperti Mama cinta Papa."
Idiih... enteng amat. Maimunah merasa, bertanya pertanyaan konyol. Jika orang sedang jatuh cinta, pasti beginilah.
"Apa kamu sudah membayangkan, apa yang bakal terjadi kalau kalian menikah nanti?" tanya Mama.
"Lupus memang penyakit berbahaya, Ma. Tapi, kalau Eva disiplin minum obat, kontrol dokter, dan menghindari matahari, dia akan sehat-sehat aja."
"Menghindari matahari?" tanya Mama heran.
Nanan baru sadar, Mama belum tahu soal matahari. Informasi tentang Eva memang dia sampaikan berangsur-angsur. Sepotong-sepotong.
"Ya."
"Kalau kena matahari, gimana?"
"Sedikit-sedikit sih gak papa. Kalau sampai sejam berjemur gitu, baru masalah."
"Kenapa sih kamu gak pilih cewek lain aja? Kamu ganteng dan gagah. Banyak sekali cewek sehat mau kamu nikahi, Nak..."
Pembicaraan mentok. Ini bukan pertama kali mereka membahas Eva. Sudah beberapa kali, bersama Papa juga, dan Nanan tetap pada pendirian.
Abdullah keluar dari kamar. Sejak tadi dia mendengarkan pembicaraan itu. Kini dia ikut menimpali:
"Ibarat naik gunung, Nanan pilih jalan terjal berliku. Ada aja orang seperti Nanan, walaupun tidak banyak. Syarat: Harus kuat dan bertanggung-jawab," kata Abdullah.
"Ya, Pa. Nanan akan bertanggung-jawab atas pilihan ini."
Mendengar kata "terjal berliku", Maimunah ingat puisi yang pernah ditempel di dinding kamar Nanan, dulu. Ya... ada kata "pedang" juga. Puisi itu tertempel beberapa hari, lantas dicopot Nanan, karena Maimunah terus bertanya-tanya.
Maimunah tegas: "Maksud Mama, kenapa sih kamu pilih cewek berpedang yang menusukmu?"
Nanan dan Abdullah diam, mencermati kalimat Mama yang filosofis. Sejenak kemudian, Nanan ingat puisi dulu. Dia tertawa.
"Hahaha... Mama ini masih ingat aja. Mama ternyata penggemar puisi juga, lho Pa."
Spontan, Maimunah menyergap: "Jangan ketawa. Kamu belum jawab pertanyaan Mama."
"Ya, Ma. Sudah kujawab, aku cinta Eva, Mama..."
Abdullah-Maimunah kenal karakter anaknya. Pendiam, serius, romantis, perasaan halus, bertanggung-jawab, tidak sangat cerdas tapi juga tidak bodoh, dan sayang orang tua.
Malam itu diskusi mereka mentok sampai disitu. Mereka masuk kamar masing-masing dengan pikiran berbeda-beda.
Di dalam kamar, Maimunah masih melanjutkan pembahasan:
"Masih ingat meninggalnya Dewi, nggak Pak?"
Abdullah tak menyangka, Maimunah bertanya itu.
"Emang kenapa, Bu?"
"Waktu itu Nanan stress berlebihan. Sampai kita datangkan psikiater."
"Trus, apa kaitan dengan sekarang?"
"Nah, itu yang mengganggu pikiranku, Pak. Apakah ada kaitan dengan Nanan sekarang?"
Abdullah merenung. Dia berpikir mendalam. Masuk cabang ilmu kejiwaan yang gelap-gulita baginya. Dia tak mampu menembus kegelapan.
"Aku ngerti maksud Ibu. Tapi, aku gak bisa menjawab."
"Apakah kita perlu minta bantuan psikiater lagi?"
"Lhadalah... anak kita sehat, Bu. Terlalu jauh Ibu berpikir kesitu."
"Aku cuma gelisah aja sih, Pak."
"Kita tenang aja. Kita tahu, cinta itu buta."
"Ya, Pak. Kita doakan saja mereka bahagia."
"Itu yang terbaik, Bu."
Suami-isteri ini terlelap kelelahan.
-------------------- Lari ke 39 Apakah Cinta Abaikan Logika? Belum Tentu... (belum tentu ya, belum tentu gak)