5. Catching Feelings

2.1K 115 0
                                    

We were best of friends since we were this high
So why do I get nervous every time you walk by
We would be on the phone all day
Now I can't find the words to say to you
Now what am I supposed to do?

●●●

Justin P.O.V

Aku mengaguminya sejak dulu,

Dulu saat kita masih suka bermain di taman.

Dulu saat kita masih memakan gulali bersama.

Dulu saat kita masih melakukan semua hal konyol bersama.

Rasanya, aku ingin kembali ke masa lalu. Masa dimana aku dan y/n sahabatku selaku bersama. Kita selalu meniup lilin ulang tahun kita bersama, sampai saat ulang tahun ke 17 semuanya berubah.

Entah perasaanku saja atau bagaimana, aku merasa y/n sudah tidak suka bermain denganku lagi. Padahal dia tidak berubah sama sekali. Dia tetap menjadi y/n ku, gadis yang selalu ceria dan penuh semangat. Atau..... aku yabg berubah?

Ugh aku benci perasanku!

Sekarang aku merasa canggung untuk sekedar berbicara dengan y/n. Astaga Justin, ada apa denganmu?!

Oleh karena itu, sekarang aku terlihat menghindar darinya. Aku lebih suka berkomunikasi lewat sosial media dengan y/n. Bukan, bukan karena aku membencinya, hanya saja aku takut akan mempermalukan diriku sendiri di depannya.

Pernah suatu ketika, aku memberanikan diriku untuk bermain ke rumahnya setelah sekian lama aku tak berkunjung. Aku disambut hangat oleh keluarganya. Bagiku, keluarga y/n adalah keluargaku juga.

"Astaga Justin kemana saja kau! Ku kira kau sudah tewas." Ucap Jonathan, kakak y/n.

"Your jokes ain't funny, Joe." Timpal y/n.

"Chill, sister. Maksudku, dulu Justin kan seenaknya setiap hari ke rumah kita. Sekarang dia jarang sekali kesini."

"Dia sudah dewasa! Tentu punya rutinitas sendiri, ya kan Justin?" Bela y/n.

Aku hanya mengagguk sambil tersenyum kecil.

"Mom, tolong buatkan ramuan kecap dengan jeruk nipis, sepertinya Justin sedang sakit tenggorokan, daritadi hanya senyum-senyum saja." Ucap Jonathan, mencoba melucu.

Y/n langsung melempar kakaknya dengan bantal sofa.

Selama 2 jam aku berkunjung ke rumah y/n, entah kenapa aku jarang sekali berbicara. Aku kasihan kepada y/n yang selalu membuka percakapan diantara kami. Padahal, ada banyak sekali hak yang ingin aku ungkapkan padanya. Tapi entah mengapa hanya "ya", "tidak" dan "oh" yang keluar dari bibirku. Pasti itu membuat y/n tidak nyaman.

Ugh, aku benci diriku yang sekarang!

"Kau ini kenapa, Justin? Kau menjadi lebih pendiam sekarang. Ada yang ingin diceritakan?" Tanya y/n sungguh-sungguh.

Kedua pandangan kami bertemu. Mata birunya....... Sial, jantungku berdetak lebih cepat sekarang.

"I'm okay, y/n."

"Bahkan sekarang kau memanggil namaku dengan benar. Biasanya kau selalu memanggilku bodoh, tolol, monyet, dll. Aku merindukannya, Justin."

Tatapanku melembut. Gadis itu benar, apa yang salah denganku? Aku senang berada di dekat y/n. Aku senang medengarnya berbicara. Tapi tidak jika aku yang harus berbicara. Lidahku terasa kelu meskipun sekedar menyebut namanya.

"Aku baik, sungguh." Ucapku kaku. Ugh, terdengar menjijikan.

"Apa kau tak menganggapku sebagai sahabatmu lagi? Aku melakukan kesalahan?"

Tidak! Tidak y/n. Kau sahabat yang sempurna bagiku. Ayo Justin katakan!

Aku bergelut dengan pikiranku sendiri. Sedangkan bulir air mata y/n sudah jatuh. Alih-alih memeluknya lalu menenangkannya, aku malah meminta izin untuk pulang. See? Betapa bodohnya aku.

Sejak kejadian itu, aju dihantui rasa bersalah bahkan tak mah menemui y/n. Padahal, gadis itu mencari-cari diriku. Tapi selu ada alasan yang keluar dari mulutku untuk menolak bertemu dengannya.

Ya, bukan hanya y/n yang merindukanku. Aku pun sejuta kali lebih merindukannya. Bahkan, dia selalu muncul dalam bunga tidurku.

Bodoh, tolol, lihat apa yang telah kau perbuat? Kau membuat gadis yang kau cintai menangis.

Cinta.

Apa semua perubahan dalam diriku karena cinta?

Apa rasa sayangku pada y/n telah berubah menjadi cinta?

Jika iya, aku benci jatuh cinta.

Katakan pada y/n secepatnya, atau kau akan kehilangannya selamanya.

Aku harus mengatakannya? Apa aku siap mendengar apapun yang nantinya keluar dari bibir y/n? Bagaimana jika dia menolakku, lalu membenciku dan kita tidak bisa berteman lagi. Tidak, kau tidak boleh mengatakannya Justin!

Tapi bagaimana kalau ternyata y/n mencintaimu juga? Kalian akan menyesal seumur hidup karena tidak mengungkapkannya.

Benar juga. Jadi bagaimana?

Aku sungguh frustasi. Jatuh cinta benar-benar mengesalkan.

***

"Y/n aku mencintaimu."

"Sungguh? Kau jangan bercanda, Justin."

"Apa ada keraguan di mataku sekarang? Aku benar-benar mencintaimu. Bersediakah kau menjadi kekasihku?"

Ucapku sambil mengecup punggung tangannya.

"Ya! Tentu saja! Aku juga menaruh perasaan padamu sejak lama. Ku kira cintaku bertepuk sebelah tangan."

Y/n menangis bahagia. Lalu memeluk tubuhku erat. Sedangkan aku lebih bahagia. Rasanya segala beban di pikiranku yang selama ini dipendam menguap begitu saja. Ya, aku sudah mengatakannya. Kau hebat, Justin!

...
..
.

"Justin Drew Bieber, lebih baik kau keluar dari kelasku sekarang daripada kau tidur dan menyebut-nyebut nama y/n!" Tegur Bu Rita, guru fisikaku dengan kejam.

Malu.

Tanpa banyak bicara, aku segera keluar dari kelas dan menuju ke kantin.

Sial, ternyata semua hanya mimpi.

"Hey! Mengapa sahabatku ada dikantin saat jam pelajaran?" Ucap seseorang sambil mengalungkan tangannya di leherku.

"Y/n?" Kataku ragu.

"Ya?"

"Kita teman selamanya kan?"

Y/n tertawa kencang.

"Tentu! Memangnya mau apa lagi? Pacar? Tidak mungkin!" Katanya masih dengan tawa khasnya.

Pacar? Tidak mungkin!

Aku mengumpat pada diriku sendiri. Bodoh, jangan sampai y/n tau kalau penyebab aku diusir bu Rita adalah aku memimpikan dirinya menjadi kekasihku.




Justin Bieber As Your BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang