Lampu lalu lintas berganti hijau, membuat Mina tersadar dari diamnya saat Jimin melajukan mobil.
Kedua orang itu dia, memilih untuk tak bersuara dan tenggelam kedalam pikiran masing masing; Jimin dan rasa sakitnya, serta Mina dan rasa sakit yang lebih dari yang Jimin rasakan.
Mobil itu berhenti didepan rumah Mina, dan sampai saat itu, masih belum ada yang mau bicara. Hingga Mina lebih dulu melepas sabuk pengamannya tanpa berniat untuk beranjak pergi.
"Bisakah kau berhenti melakukannya?"
Satu sahutan kecil dari Mina membuat lelaki Park dikursi kemudi itu kini menoleh dengan refleks, menunggu kata kata dari gadis di sebelahnya.
Mina menarik nafas; dalam dan panjang. Berharap nafas itu dapat membuatnya bersikap lebih jujur dan mengatakan semuanya dengan terbuka.
"Berhentilah berpura pura menyukai orang lain ketika matamu bahkan hanya melihat pada Seulgi Unnie, atau bersikap cemburu dan sok posesif. Orang mengira kita memiliki hubungan—kau tahu—biarpun padahal kita tak lebih dari bos dan pekerjanya."
"Bersikaplah berani dan apa adanya, Jimin ssi. Kepura puraanmu padaku sama sekali tak membuatmu terlihat kalau kau sudah melupakan Seulgi Unnie."
"Stop being pathetic. Hold me or leave me, Jimin ssi."
Dan dengan itu, Mina membuka pintu mobil, keluar dari sana, dan meninggalkan Jimin yang saat ini jelas jelas berwajah terkejut. Matanya masih menatap lurus, tanpa sedikitpun bergerak bahkan hingga Mina masuk ke dalam rumah.
Mobilnya masih menyala, seolah bahkan Jimin pun tak peduli soal itu. Ia menerawang; pikiran rumit berkelebat di otaknya. Jimin bahkan tak menoleh pada Mina ataupun pada rumah si gadis. Kata kata Mina menohoknya dengan amat dalam.
**
Berulang kali perasaan itu muncul, dan puluhan kali juga Mina mencoba menepisnya.
Gadis itu masih sibuk berkutat dengan beberapa laporan yang harus ia berikan pada Jimin dengan segera. Tangannya mengetik dengan lincah, meskipun pikiran Mina melanglang entah kemana. Semuanya terasa tidak jelas, setelah apa yang ia bicarakan kemarin. Beberapa jam Mina menunggu setidaknya 1 pesan dari Jimin semalam, namun tak ada satupun yang datang.
Jimin tak menghubunginya sama sekali.
Kesekian kalinya hal itu terjadi, kesekian kalinya Mina berharap, dan kesekian kalinya Jimin mengecewakannya. Benar kata pepatah; don't ever hoping too much.
Suasana ruangan itu masih terasa tak nyaman, terutama saat Mina bergerak untuk memberi beberapa tumpuk kertas pada Jimin yang kini duduk dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak ada suara, tak ada sahutan.
Keadaan saat ini benar benar konyol dan rasanya Mina ingin tertawa; menertawakan dirinya sendiri, lebih tepatnya.
"Jim," Suara itu terdengar, bersamaan dengan derit pintu yang terbuka. Diam diam, Mina bernafas lega. Sahutan itu benar benar menyelamatkannya dari suasana canggung ini.
Jimin pun akhirnya mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang memanggilnya. Lagi lagi, Mina nyaris terbahak mengingat sebelumnya, Park Jimin bahkan tak mau melihatnya sama sekali.
"Nyonya Park mencarimu. Kau bahkan tak datang rapat tepat waktu." Namjoon mendengus, menunggu Jimin yang berdiri dari duduknya dengan sedikit tergesa.
"Maaf hyung—aku pikir rapatnya dibatalkan."
"Ayolah, kau banyak melamun belakangan." Sekali lagi, ia mendengus pelan. Jari Namjoon mengetuk jam tangannya tak sabar, hanya untuk menunggu Jimin mempersiapkan berkasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Last Dance • PJM x Myoui Mina ( COMPLETED )
FanfictionHighest rank: #41 out of 3.7k stories in TWICE category. Menarilah untukku, hanya untukku ㅡPark Jimin. Kau, kau pikir semua didunia ini bisa jadi milikmu dengan mudah? ㅡMyoui Mina +Fanfiction