"Bukankah kau tidak suka bermain sendirian?"
Bisma menoleh. Ia tak lihat lagi kemana lemparan bolanya pergi, yang terdengar hanya suara hantaman bola basket ke lapang ber-semen.
Melihat Sinta datang, Bisma senang, meski ia terus menutupinya.Sinta melihat sekeliling. Lapangan ini tempat biasa keduanya datangi untuk bermain basket atau sekedar menghabiskan waktu senggang. Tempat umum yang selalu ramai di sore hari.
"Ada apa?" Bisma tak beranjak dari tempatnya. Ia menunggu Sinta menghampirinya.
Kau akan menyatukan jari-jarimu.Bisma berbisik dalam hati, Dan sesuai perkiraan, tebakan yang sempurna! Sinta mendekat dan menautkan jari-jari tangannya.
"Kalau ingin kumaafkan, main basket dulu."
"Bagaimana kau tahu aku akan minta maaf?"
Bisma terdiam. Apa yang aku tidak ketahui tentangmu, Sinta?
"Aku egois dan tak memikirkan perasaanmu kemarin. Aku minta maaf. Jangan mendiamkanku terus, ini kan sudah seminggu."
Ia mendongak karena tak ada tanggapan apapun. Bisma hanya menatapnya dengan wajah dingin, membuat Sinta tidak tahan. "Ayolah! Jangan terus marah padaku! Aku kan sudah minta maaf!dan soal Bintang dan hari itu-""Aku sudah tahu dari Fiona. Aku percaya padamu, tidak mungkin Sinta yang kukenal menyukai seorang pria seperti dia. Aku tak berniat melarang, semua orang kupersilahkan asal jangan dia. kenyataannnya dia yang membuatmu terbaring di rumah sakit, aku benci itu."
Sinta tersenyum tipis, setipis mungkin. Fakta tersbut membuatnya tak suka.
"Dan jangan Rayhan!" imbuh Bisma. "Ataupun Dimas adik kelas itu, dan siapa satu lagi yang selalu mengirim surat di lokermu-Em, Fairuz!jangan mereka!"
"Yah, kalau semua pria tidak boleh, siapa yang akan berpacaran denganku, kau?"
"Setuju! Kelak kalau kau jadi perawan tua dan tak ada yang menjadi kekasihmu, aku akan menikah denganmu!"
Sinta terbahak mendengar gurauan tersebut. Bisma senang, "Tapi, saat itu tiba mungkin aku sudah menikah dan kau akan kujadikan istri kedua!"
Sinta berlari menyerang Bisma, namun ternyata gadis itu berlari ke belakang Bisma dan mengambil bola basket bertingkah seperti anak kecil.
"Jangan banyak bicara dan coba rebut bola ini dariku! Kalau kau gagal, berjanjilah tidak akan menjadikanku istri keduamu!"
Tentu saja, Bisma dengan senang hati tidak akan berusaha terlalu keras untuk merebut bola dari Sinta. Ia berlari dan larut dalam permainan mereka berdua. Saling merebut bola, bermain tanpa peraturan. Tidak ada rasa kesal, hanya gelak tawa bahagia yang mengisi malam.
***
Napas terengah dan putus-putus, Sinta menekuk lutut mencengkeram pahanya yang bergetar. Belum sampai keringat membasahi tubuhnya, ia sudah kehabisan tenaga. Sedangkan lawan mainnya masih agresif memainkan bola tanpa sedikit pun gurat lelah diwajahnya.
"Kau bercanda? Kau ingin menyerah menjadi istri pertamaku?"
Ia mendekati Sinta yang masih mengatur napasnya yang berceceran. Tersirat rasa khawatir serta tanda tanya besar.
"Siapa yang lelah? Ayo kita lanjutkan!"
Sinta menegapkan tubuhnya dengan tatapan menantang yang dibalas lirikan tajam Bisma.
"Aku yang lelah! Aku! Argh.. Aku sudah tidak kuat lagi. Kita berhenti saja. Aku juga haus sekali, ayo aku akan traktir minuman."
Deringan ponsel disaku Bisma terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate In You (COMPLETED)
Romance[#3 in Sad Romance 16012019] Berawal dari sebuah tragedi yang terjadi di suatu senja yang berawan. Sinta Dahsa Sanjaya, pemain basket tebaik dalam team sekolahnya harus rela memiliki satu ginjal ditubuhnya, seumur hidup. Setelah ia bangun dari kom...