Part 65

512 28 5
                                    

Ini bukan ruangan kerja, tapi sebuah perpustakaan.

Setidaknya itu yang pertama kali Bintang pikirkan begitu masuk kedalam ruangan besar berasitektur klasik ini, cat di dominasi warna coklat kayu oak, lantainya dilapisi karpet tebal mewah, di tengah dua kursi besar yang dimodifikasi agar dapat menyangga kaki, dan diatur kemiringannya.

Sekeliling ruangan dipadati oleh buku-buku tebal dalam berbagai usia, berpuluh-puluh jurnal dan penelitian. Meja kerjanya tidak kalah mewah, meja kayu mahoni, kursi beludru selembut sutera, jam digital modern, dan sebuah patung violin di sisinya. Bintang menjelajah mejanya, lalu membaca papan nama berbahan kayu dan kaca, senyum mirinya tercetak jelas. Pria tua itu benar-benar menganggapnya gila, rupanya.

Pria semampai berhidung besar dan perut yang tambun masuk kedalam ruangan, mempersilahkan Bintang duduk sambil membenarkan letak kacamatanya yang turun.

Bintang menurut, dan satu jam berikutnya, ia hanya mengikuti intruksi dari psikiater ayahnya tanpa protes.

Waktu berlalu, psikiater ini terus bertanya hal-hal yang membosankan, lalu menulis jawaban Bintang di bukunya.

Tetapi, pikiran Bintang melantur jauh, menembus atap, awan dan sampai ke ruangan dialysis yang dijalani Sinta.

Apa gadis itu baik-baik saja?

Bintang merasa lega karena sesi memuakkan itu usai, ia akan langsung menghampiri Sinta dirumah sakit.

Tapi, baru satu langkah ia keluar dari ruangan konseling, langkahnya di hadang dua pria besar berjas hitam, salah satu dari mereka menunjukkan jas bagian dalamnya, ada logo HS disana.

“Tolong ikut kami, Tuan sudah menunggu.”

“Aku sibuk. Katakan padanya, kalau ia ingin menemuiku, datanglah sendiri.”

Langkah Bintang di tahan, padahal ia baru berniat saja. “Kami di perbolehkan melakukan kekerasan jika tuan muda menolak.”

Bintang sadar diri, bahkan jika kedua tangannya sehat tanpa luka, ia masih tidak bisa melawan dua pengawal yang dikirim daddy-nya. “Baik, tapi jangan kawal aku terlalu dekat.”

Dua pria itu menangguk, dan mempersilahkan jalan untuk Bintang. Di dalam mobil, dua pria itu lebih mirip patung daripada manusia, bahkan Bintang juga tidak yakin melihat bahu mereka bergerak untuk bernapas.

“Memangnya, mau kemana kita?” tanya Bintang.

“Ke rumah, tuan muda. Tuan dan Nyonya sudah menunggu.”

***

Mary berbicara serius di dalam ruangan Dr. Jo, Sinta memilih menunggu mama-nya selesai di luar. Ia memandang ke langit dari balik jendela. Cerah sekali, awan pun tidak tampak. Hari libur dan cerah seperti ini harusnya ia habiskan dengan bermain, atau berenang di pantai, bukan terjebak di rumah sakit dan melakukan banyak test yang menjemukan.
Sinta memalingkan wajah dari langit sebiru batu safir itu, pandangannya jatuh pada lift  di depannya, tepatnya pada seorang pasien di kursi roda yang berusaha menekan tombol lift meski dirinya tidak sampai. Sinta berderap ke arahnya dan membantunya.

"T-terimakasih banyak." ujar Pasien.

Sinta tersenyum manis. Ia melirik lampu berwarna merah tepat di atas lift, menunjuk ke salahs satu angka. “Lift-nya masih di lantai 16, tunggu saja ya?”

Muka pasien itu membengkak, lingkaran hitam tergambar jelas dibawahnya, jari-jari tangannya kurus, dan kedua kakinya di balut perban.

Tidak sampai lima menit lalu, ia baru saja mengeluh, dan merasa dunia tidak adil padanya. Kau itu beruntung, Sinta.

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang