"Yah, tidur?"
Lengkungan di bibir Bintang terbentuk sempurna, melihat Sinta terlelap di sampingnya. Bintang mem-pause film yang sedang di tonton. Kemudian, mengangkat tubuh mungil Sinta dan membaringkannya di atas kasur, dan menyelimutinya.
Bintang memandanginya dari dekat, dan memberanikan diri menyentuh wajahnya.
"Berhentilah mengkhawatirkan orang lain. Ibumu akan baik-baik saja. Pikirkan dirimu sendiri, Sinta."
Bintang menurunkan tangannya ke jari-jari Sinta, menggenggamnya lembut.
Jadi seorang kakak atau apa pun, tetaplah di sisiku. Aku tak bergurau ketika memutuskan untuk menjadikanmu milikku.
Bintang tak menurunkan pandangnya, garis mata serta hidungnya terlihat manis, ekspresi wajah terlelap itu menggemaskan.
"So beauty."
Dan, ketika kata 'indah' terucap, tak lagi bayang wanita lain yang hinggap di pikirannya. Hati dan otaknya terlanjur penuh sesak oleh sejuta pesona gadis polos itu.
***
Hening dan lengang. Kompleks perumahan seperti tempat tak berpenghuni ketika malam terlanjur larut. Apalagi, langit tak dihidupkan bulan.
Seorang pria berdiri diatas balkon, memandangi kaca jendela rumah diseberang yang sudah gelap. Senyum terukir di wajahnya mengingat kejadian beberapa jam lalu,di kamarnya.
"Dasar bodoh", gumamnya pelan.
Suara decit besi terdengar sejurus kemudian, dan muncullah seorang gadis manis dengan baju tidur biru muda, telinganya terpasang headset yang tersambung langsung dengan ponsel.
Sinta memutar kepalanya ke kanan lalu ke kiri, tangan serta kakinya juga dengan gerakan berulang, melakukan peregangan kecil. Ia berhenti dan memejamkan mata sambil menggerutu.
"Kenapa aku ketiduran tadi?", Sinta teringat akan beberapa jam lalu.
"Lima menit lagi, Ma", Sinta melengguh sambil berguling merubah posisi tidurnya jadi menyamping.
Bruk!
Kebiasaannya jatuh dari tempat tidur sebelum bangun benar-benar sulit dihilangkan. Tetapi kali ini ia jatuh tepat di atas benda empuk, dan disebelah guling yang hangat.
Dan rasanya, ia akan melanjutkan tidurnya di lantai. Ia memeluk guling hangat itu erat, terlalu hangat untuk sebuah guling dan berbau maskulin. Tunggu, ia tak punya guling yang seperti ini.
Ia membuka paksa matanya yang berat. Yang pertama terlihat ialah kaus biru tua, serta lengan besar yang menopang lehernya, matanya bergerak keatas, garis hidung dan rahang yang tegas, mata yang terlelap, Sinta membelalak sempurna. Ia spontan bangkit dan keluar kamar sambil menyumpahi diri sendiri atas keteledorannya.
Tetapi, ia malah kembali kedalam kamar, melebarkan selimut untuk menutupi tubuh pria itu agar tetap hangat.
Sinta mengacak rambutnya. "Lupakan Sinta. Kenapa kau terus memikirkannya?"
Ponselnya bergetar, satu pesan masuk lewat Line.
Bintang :
Lagi apa?
Sinta mencibir, dan memasukkan kembali ponsel ke saku. Ponselnya kembali bergetar.
Bintang :
Yah, kau mengabaikanku?
Sinta mengumpat seraya membalas pesan.
Sinta :
Aku akan tidur, puas?
Bintang :
Kau tidur sembari berdiri?
Sinta spontan menoleh ke ke tempat Bintang. Pria itu tersenyum dan melambaikan tangannya. Sinta terkejut, ponselnya bergetar lagi.
Bintang :
Kenapa tadi pergi begitu saja? Dan, seingatku aku tak pakai selimut tadi. Kau tidak melakukan sesuatu padaku 'kan? Kau yang bilang sendiri tubuhku ini seksi.
Sinta menganga. Dan cepat membalasnya.
Sinta :
Terserah!
Bintang tersenyum membacanya, ketika matanya berpaling dari ponsel, Sinta sudah menghilang dari tempat.
Bintang menghela, mengetikkan sebauh nama di kontaknya.
"Selamat malam, Mas Pandu. Apa besok tidak ada jadwal operasi?"
Bintang tersenyum samar. "Sepertinya mereka baik-baik saja di rumah. Ah iya, Soal itu, ada yang ingin Bintang bicarakan."
***
Belanja merupakan hal yang paling disukai semua wanita, tak terkecuali untuk Mary.
Tetapi untuk Mary, belanja bukan berburu baju di butik mahal, atau sepatu-sepatu brand ternama, melainkan mencari bahan masakan di rumah.
Tangan handalnya meracik makanan membuat usaha cateringnya meluas dengan klien dari kalangan atas.
Mary memilih beberapa buah segar, teringat sesuatu ia menelpon Sinta, anaknya. Tak sampai nada tunggu kedua, panggilan ditolak. Tak lama, satu pesan masuk.
Anakku :
Ma, Sinta lagi belajar di kelas, nelpon nya nanti aja.
Mary mengetikkan pesan balasan.
Makan malam nanti, mau mama masakin apa sayang?
Anakku :
Ih, terserah mama. Sinta lagi belajar Maaaa, di kelas ada guru gak boleh main handphone.
"katanya gak boleh main handphone." Mary menggeleng membaca pesan dari anak tunggalnya.
Ia kembali memilah beberapa buah apel merah segar. Mary rasa, Sinta benar-benar duplikat Panca, suaminya. Sinta dan Panca hanya mengkonsumsi buah apel yang dikuliti terlebih dulu, atau kebiasaan Sinta jatuh dari atas ranjang saat bangun tidur, ketika kecil Panca pun begitu.
Sepertinya, Tuhan benar-benar baik padanya, meski memanggil Panca ke sisi-Nya, ia tak dibiarkan bersedih dengan mengirimkan buah hati yang sangat mirip dengan pria yang dicintainya. Sinta.
Mary mendorong kembali troli seraya menjawab telepon dari asistennya.
"Tolong ubah jadwal pertemuan dengan klien jadi besok siang setelah makan siang, setelah ini saya akan ke kantor. Ya-"Bruk!
Mary terkejut menyadari telah menabrak seorang dengan troli belanjanya. Ia bergegas membantu pria tersebut bangun dan memungut ponselnya yang jatuh.
"Maafkan saya, pak. Saya tak lihat jalan barusan. Bapak baik-baik saja?"
Pria itu merapikan setelan jasnya, "Tak apa, saya tidak fokus karena sedang menelpon tadi-"
Pria berjas biru dongker itu tak melanjutkan ucapannya. Tak percaya akan bertemu tanpa sengaja seperti ini. Sama halnya dengan Mary, ia terdiam menyadari siapa pria di depannya. Itu sudah lama sekali, sejak pertemuan terakhir mereka pada hari itu.
"Pak Bayu?"
***
Siapa gerangan Pak Bayu?????
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate In You (COMPLETED)
Romansa[#3 in Sad Romance 16012019] Berawal dari sebuah tragedi yang terjadi di suatu senja yang berawan. Sinta Dahsa Sanjaya, pemain basket tebaik dalam team sekolahnya harus rela memiliki satu ginjal ditubuhnya, seumur hidup. Setelah ia bangun dari kom...