Part 54

655 39 0
                                    

Jalanan sepi lengang. Matahari masih malu-malu menunjukkan diri pada makhluk bumi padahal jam sudah berada di angka tujuh.

Sesuai rutinitas sehari-hari, Mang Amin sudah mendorong gerobak motor seraya berseru lantang menjajakan dagangan sayurannya.

Mary memilah beberapa sayur untuk menu sarapan dan makan siang hari ini. Tampaknya, beberapa tetangga tidak keluar untuk berbelanja hari ini.

“Udah liburan semester, kayaknya pada pergi liburan ya, mang?”

Mang Amin berseru setuju, “Iya bu. Berarti Neng Sinta sebentar lagi lulus SMA ya? Wah, cepat banget ya? Perasaan baru kemarin neng Sinta pake baju SD beli es loli di warung saya.”

Sinta yang sedari tadi berada disebelah mamanya tersenyum lebar, menggaruk tengkuk. “Masih ada satu semester lagi mang, semester akhir.”

Ia menoleh kepada Mary yang melihat-lihat sayur bayam dan jamur. “Ma, masak sayur buncis dong hari ini, ya?”

“Buncis, daun pepaya, kembang kol, alpukat, kentang, kamu harus kurangi makan itu, ingat kata dokter sayang!” suara Mary lembut, namun tegas.

“Mama juga mau kurangi stok buah apel dikulkas.”

Sinta memajukan bibirnya kedepan. “Yah, mama.. jangan apel juga dong?”

“Mang sayur bayam-nya dua ikat!”

Mary tak merespon rengekan Sinta. bagaimanapun, ia harus mengikuti saran dokter Jo untuk diet Sinta, sedih memang karena anak semata-wayang-nya ini sangat suka makan, tetapi harus diet untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit Sinta, serta tak membuat penyakit yang ia derita tak bertambah parah.

Sinta memilih patuh. Ia merapikan belahan poni rambutnya, dan mengikat rambut hitam legam sepunggung-nya tinggi-tinggi dengan asal-asalan.

Diatas balkon, Bintang memperhatikan ketiga orang yang sedang bercengkrama, tidak, sebenarnya yang ia perhatikan ialah gadis berpiama merah maroon yang mencoba merayu ibunya, menggemaskan sekali. sepertinya ia menyerah, dan gadis yang Bintang perhatikan mengikat rambutnya.

Alis Bintang berkerut melihat pemandangan berupa tengkuk putih Sinta yang terlihat jelas dari atas sini. Ia bergegas menuruni anak tangga, menghampiri Sinta.
“Tapi ma—Eh!”

Bintang menarik ikat rambut dari kepala Sinta membuat rambutnya langsung tergerai bebas dengan indah. Sinta langsung menoleh karena kaget, dan detik singkat yang dibuat menjadi slow-motion itu tiba-tiba membuat Bintang menyumpahi dirinya karena hal bodoh yang baru ia lakukan membuat ia jatuh pada kecantikan Sinta yang tak dibuat-buat.

Layaknya iklan shampoo ditelevisi, rambut itu tersibak mengikuti gerak kepala Sinta, dan berkumpul di bagian kanan Sinta. Bintang tertegun.

“Aish! Bintaang!”

Bintang mengerjap sesaat setelah Sinta berseru dengan nyaring. Ia menghela samar sambil menutupi gugupnya.

Ia mengangkat lengannya menjauhkan ikat rambut dari jangkauan Sinta.

“Selamat pagi tante! selamat pagi mang Amin!”

Mary menoleh dan tersenyum lebar.

“Bintang sudah sarapan?”

Bintang mengangguk, “Sudah kok tante, Om Rudy pulang semalam, dan pagi tadi beliin sarapan semua orang di kost.”

Ia menjulurkan lidah ke Sinta dan mempertahankan posisi sebelumnya. Sinta berjinjit berusaha mengambil kembali ikat rambutnya, tapi semua orang pun tahu itu mustahil di lakukan. tubuh Sinta yang pendek hanya bisa mencapai puncak kepala Bintang saja.

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang