Part 80

929 35 1
                                    

Mohon maaf atas typo-nya..
Ditunggu kritik dan saran ❤

***

"Mau tambah gula?"

Pria berkepala licin itu menolak dengan gelengan, sambil tertawa kecil.
Dr. Pandu dan Dr. Jo sedang menikmati pagi mereka dengan secangkir teh hangat sambil mengenang masa muda keduanya. Lalu, pembicaraan jadi lebih serius ketika membahas salah satu pasien Dr. Jo, anak SMA yang menderia penyakit ginjal akut stadium empat karena keturunan genetik dari mendiang ayahnya, Sinta.

"Jadi begitu ternyata, pantas saja keponakanku itu terus mendesak agar cepat-cepat mendapatkan donor ginjal yang sesuai."

"Sebetulnya, pasca kecelakaan itu, Bintang diam-diam mengusulkan untuk mendonorkan ginjalnya untuk Sinta, karena golongan darah mereka yang sama menjadi kemungkinan besar kecocokan organ, sayang sekali hasilnya berkata tidak. Ginjal Bintang tidak cocok dengan donor yang dibutuhkan Sinta."

"Sebetulnya, kasus ini cukup unik, dan sangat sulit untuk ditemukan donor ginjal yang cocok dengan Sinta." Senyum Pandu mengembang. "Tapi akhirnya.. kita mendapatkannya."

Dr. Jo menyandarkan punggungya ke sofa, dan menyesap teh hangatnya. "Mary sudah menunggu sangat lama. Tak terbayang wajah haru bahagianya kalau ia mendengar berita ini. Selanjutnya, kita harus mulai mencari waktu yang tepat untuk operasinya. Sebelum kita terlambat."

Pintu ruangan diketuk, muncul seorang dokter muda. "Selamat pagi, Dr. Jo. Maaf mengganggu waktunya, tapi kami baru kedatangan pasien darurat." Dokter yang masih berstatus magang itu bicara dengan tersengal.
Ia sedang melakukan sift paginya ketika ambulans datang membawa pasien darurat. Yang membuatnya berlari ke ruangan ini. "Pasien itu Sinta, dokter."

Dr. Jo langsung bangun dari duduknya. "Siapkan ruang operasinya sekarang. Dan panggil dr. Willy untuk menjadi asistenku."

***

Koridor sepi. Terlampau sepi. Namun, atmosfer kecemasan bertebaran di-udara. Sudah lewat empat jam setelah Sinta masuk ke dalam ruang operasi, tapi dokter maupun suster belum juga keluar.

Mary menghapus air matanya yang sudah hampir kering, lalu menerima minuman hangat yang diberikan Bintang. "Tante, operasinya pasti berhasil, Bintang yakin itu. Sinta juga pasti sedang berjuang dengan keras di dalam." Tutur Bintang lembut.

Tidak jauh dari mereka, Fiona dan Arga duduk bersebelahan tanpa bicara sejak satu jam lalu. Fiona terus menatap pintu ruang operasi, sambil terus memanjatkan doa agar operasinya berjalan lancar.

Di dekat mereka, Bisma yang masih mengenakan kaus tim basket duduk menunduk untuk waktu yang lama. Tangannya mengepal menahan segala macam emosi yang siap meledak menjadi berjuta-juta keping. Tapi, rasa cemasnya lebih mendominasi.

Setelah keheningan panjang, Bisma mendekati Bintang. "Ikut aku."

Bintang menatap dirinya sendiri didepan cermin diatas wastafel toilet rumah sakit. Ia menekan tulang hidungnya menahan perih yang menyerang mata. Dadanya sesak seperti ada sebongkah batu yang menghalangi saluran napasnya. Sebisa mungkin menahan dirinya.
Dari semua orang, Bintanglah yang paling cemas, meski begitu pria itu memiliki pengendalian diri yang hebat.

Bintang melirik Bisma yang menatapnya tajam lewat cermin di wastafel. "Apa yang ingin kau bicarakan—"

Bisma berderap, menarik bahu Bintang memaksanya berbalik. Dengan kekuatan penuh, ia melayangkan kepalan tangannya tepat di wajah Bintang. Pria itu langsung terhuyung menghantam wastafel.

"Itu karena menabrak Sinta."

Belum sempat Bintang kembali berdiri, Bisma menarik kerah kemeja pria itu dan melayangkan satu pukulan yang tak kalah kuat dari sebelumnya.

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang