Part 47

704 38 12
                                    

Senja undur diri. Kiranya, bulan lebih di butuhkan untuk malam yang dingin.

Matahari benar-benar hilang dan menerangi bagian bumi lain. Kini, menyisakkan kegelapan tanpa hadirnya bintang yang biasanya berkedip di cakrawala.

Bahkan, bukan hanya langit saja yang gelap. Aliran listrik belum juga menyala, menambah panjang rentetan kegelapan malam ini.

Sebuah kamar kost di atas sebuah rumah berlantai dua, gorden-nya terbuka, menunjukkan kerlip cahaya lilin dari dalamnya. Angin tak tega bahkan untuk memadamkannya.

Siluet tegap membayangi sebagain ruangan, ia menghadap jendela, memandang ke gelap malam yang lebih membosankan ketimbang gadis mungil yang terlelap di lantai bersama lilin-lilin tegak yang habis  termakan api.

Sinta tiba-tiba bangun, terkejut, dan menekan kelopak matanya yang perih dan sembab.

Ia mencari-cari sosok yang tadi tergeletak di sampingnya. Sejurus kemudian mendesah lega, karena pria yang nyaris membuatnya kena serangan jantung mampu berdiri memunggunginya.

Sinta mendekat. “Kau sudah baik-baik saja sekarang? Hey, apa yang kau lakukan tadi? Membuat orang lain khawatir saja. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu kalau aku tidak datang—“

Bintang berbalik dengan menunjukkan ekspresi dingin yang paling mengerikan. Mengharuskan Sinta menghentikan ocehannya. Bintang mendekat satu langkah, Sinta spontan mundur, seperti sebuah tombol otomatis yang mengharuskan ia menjauh ketika seseorang berusaha jauh lebih dekat.

“Kenapa kau bertanya hal itu? kau kasihan padaku? Aku terlihat menyedihkan?”

Pertanyaan yang membuat Sinta kaget. Pasalnya, Bintang tak pernah memiliki sisi sedingin ini. Bintang yang hangat dan ramah tak sama sekali ia temukan di manik mata kelamnya.

“B-bukan seperti itu, aku hanya.. ingin tahu apa kau baik-baik saja.. aku hanya khawatir.”

“Kenapa kau tidak takut padaku?”

Bintang menatapnya dingin, mendekat dengan gerakan kilat dan mendorong Sinta ke daun pintu. “Apa kau tidak takut denganku yang seperti ini? Kau tidak takut pada ini!?”

Napas Bintang berderu ketika mengangkat lengan kirinya sejajar dengan kepalanya.

Sinta tersentak, semua plester itu sudah lenyap dari lengan Bintang, menyisakan luka-luka merah dan bekas darah di pergelangan tangannya. Sinta meraih lengan Bintang, namun ia kalah cepat dengan Bintang yang lebih dulu mendorong lengan Sinta ke dinding di belakang tubuhnya.

Hal tersebut memangkas jarak dua orang tersebut. Sinta menatap wajah Bintang yang berapi-api.

“Kenapa, ssaem?” mata Sinta berair. “Kau yang selalu bilang agar tak menyimpannya sendirian. Tapi kau sendiri yang menyembunyikan masa lalu, dan berusaha untuk terlihat baik-baik saja.”

“Kau sama sepertinya. Dalam dirimu ada ombak pasang yang ganas, aku hanya sebongkah karang yang akan terkikis habis hanya untuk melihatmu dekat. Pada akhirnya, kau juga pasti pergi, setelah melihat sisi-ku yang lain. Dan, tidak ada yang baik-baik saja. Tangan yang menggenggammu sekarang, bisa saja tangan seseorang yang pernah menyakiti wanita sebelum kamu.”

“Aku tidak tahu kau punya sisi seperti ini, kiranya benar atau kau sekedar menciptakan sisi itu untuk membuatku takut dan menjauh, semua itu tidak berpengaruh untukku, ssaem.”

Bintang menatapnya dalam, Ia melihat noda merah kering di pipi nya.

Tiba-tiba bulir air mata jatuh bebas melewati pipinya.

“..Aku membencimu.”

Sinta tersentak.

“Aku benci kamu, Sinta. karena tidak ada yang tidak mencintaimu, bahkan aku juga, perasaanku.. padamu.. aku membencinya.”

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang