Part 37

661 42 3
                                    

"Kata Sinta, makanan di restoran ini enak-enak, akhir-akhir ini dia suka banget sama makanan jepang dan korea."

Bintang tersenyum tipis, tentu saja Sinta tahu, dia sendiri lah yang pertama kali mengajak Sinta makan disini, beberapa hari lalu juga.

Mary memanggil pelayan bermata kecil keturunan Jepang, dan memesankan makanan. Keduanya asik bercakap-cakap sambil menunggu makanan datang, telepon Mary berbunyi.

"Halo Bayu." Mary tersenyum. "Aku lagi makan siang sekarang. Sinta mungkin akan pulang sore karena jadwal latihan basketnya. Apa perlu menjemput dia setiap hari?"

Bintang mendongak, siapa yang menjemput Sinta tiap hari?

"Ah yaudah, kalian sama-sama keras kepala. Iya, aku ada di restaurant jepang dekat kantormu, oh yasudah datang aja."

Mary menutup telepon dengan senyum simpul. Baru kali ini Bintang lihat Mary tersenyum begitu sering, Bintang ikut tersenyum menyadarinya. Mary berdehem, "Ini.. tadi.. klien tante, sekaligus teman tante waktu kuliah."

Bintang terkehkeh, "Iya tante. Bintang gak akan bilang sama Sinta kok."

"Eh kok? Bukan seperti yang Bintang pikir kok. Em, temen tante ini mau ikut makan juga disini. Gak apa apa kan?"

Bintang menahan senyum, "Iya tante, gak masalah. Ah, Bintang ke kamar mandi dulu ya."

Sepeninggalan Bintang, pelayan tadi datang dan menyajikan dua gelas minuman. Mary berkerut samar ketika seorang wanita masuk restoran. Mary mengigat-ingat wajah yang nampak familiar tersebut, dari penampilannya hingga caranya berjalan. wanita itu berjalan mendekat, dan melewatinya. Tiba-tiba Mary ingat.

"Tunggu, Luna?"

Wanita berpakaian mewah itu membalikkan badan, dan melepas kacamata hitamnya. Mata tajamnya mengerut. Mary membelalak senang, "Luna? Luna Hanifa 'kan?"

Wanita yang disebut Luna mengerjap. Sedetik kemudian ekspresinya berubah datar, ia memandangi Mary yang seumuran dengannya dari rambut hingga ke kaki, senyum sinis hadir di bibir berbalut lipstik tebalnya.

"Sudah lama, ya." Luna berujar datar.

"Wah, sudah lama sekali aku tidak melihatmu. Bagaimana kabarmu? Ayo kita duduk dulu." Mary mengajak Luna untuk duduk di kursi Bintang, tetapi wanita itu menjauhkan bahunya menghindar. Itu membuat Mary cukup terkejut.

"Ah, kau akan makan siang juga? Oh iya-"

Luna menyeringai, "Apa kau masih memasang topeng menjijikan itu? Berpura-pura dan jadi orang polos?"

Mary terpaku, "Apa kau masih salah paham padaku seperti dulu?"

"Ternyata benar. Kau memang tidak pernah punya malu. Pantas saja suamimu mati meninggalkanmu, ia pasti lelah menghadapi wanita sepertimu."

Mary meremas jarinya sendiri, dan bicara serendah mungkin. "Tarik perkataanmu."

Luna malah tertawa kecil. "Kenapa? Kau malu mengakui kalau kau ini pembawa sial? Orang tuamu membuangmu, dan suamimu malah pergi begitu. Siapa lagi yang akan pergi selanjutnya?Anakmu mungkin?"

"Kenapa kau terus begini padaku!?"

Mary tidak peduli tatapan aneh dan bisik-bisik pengunjung lain. Ia manatap wanita didepannya dengan emosi yang ditahan. Yang ia ingin hanyalah memperbaiki hubungan saja, tapi kenapa Luna tak pernah menghilangkan dendam itu?

"Karena kau wanita murahan yang menggoda suami orang dengan tampang polosmu itu."

Mary terhenyak. Hubungan Mary dengan Luna tak pernah seburuk semenjak kejadian itu. dulu mereka berteman, dan bekerja dibidang yang sama. Baik, Mary berusaha berpikir jernih ditengah panas otaknya.

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang