Part 51

699 36 10
                                    

“Pagi Mang Amin!”

Pria jawa yang sudah kepala empat itu menstandar motornya di depan sebuah rumah.

“Eh neng Sinta, pagi-pagi begini tumben udah kelihatan, mau olahraga ya?”

Sinta dengan training merah mudanya dan sepatu sport berwarna putih tersenyum lebar. “Kayak Sinta gak pernah kelihatan pagi-pagi aja, iya nih. Oh iya, nanti kerumah ya mama mau sayur kangkung dua ikat! Sinta duluan ya mang Amin!”

Sinta melanjutkan kegiatan pagi langkanya, ia berkeliling kompleks dengan berlari-lari  kecil, kemudian berhenti di depan rumah Bisma, mengintip kedalam pada seorang wanita paruh baya yang sedang menyekop tanah di dalam pot.

“Pagi tante!” sapa Sinta. “Bisma-nya ada?”

Lima belas menit kemudian, Sinta sudah berada diatas pedal menggoes sepeda Bisma, sementara Bisma menggunakan sepeda ayahnya. Keduanya berkeliling lapang dan daerah sekitar kompleks beberapa kali sampai keduanya beristirahat disebuah kedai bubur.

“Kau terlihat senang pagi ini. Ada sesuatu yang terjadi?”

“Tidak ada, kok.” Sinta memainkan sendok di meja.

“Lalu, kenapa kau pergi kemarin? Apa hal yang buruk terjadi kemarin?”

“Tidak apa-apa.” Jawab Sinta lagi.

“Jadi kau tak ingin cerita? Kau tahu kan aku tidak suka memiliki teman yang penuh rahasia. Kalau kau begini terus, aku tidak ingin menjadi temanmu lagi.” Kata Bisma lalu pergi.

Sinta menyusul Bisma dan buru-buru mencegatnya.

“Jangan begitu. Kau tahu bagaimana aku bergantung padamu? Kau tahu bagaimana aku lebih kuat menghadapi sesuatu karenamu? Kau tahu aku tidak takut apapun karena aku yakin kau akan berada dibelakangku untuk mendukungku?”

Sinta melanjutkan ucapannya, “kau tahu kau selalu bisa menyelesaikan masalahku tanpa kuberitahu apa itu? Akan kuceritakan, semuanya. Tapi nanti, beri aku waktu.”

Bisma menghela,

“Kalau bebanmu berat, datanglah. Aku akan jadi rumah, bukan tempat dimana kau harus kembali, tetapi tempat yang membuat kau merasa ingin pulang.”

Sinta mengangguk, “Kau tahu, Bisma?”

“Apa? Bahwa kau sangat menyayangiku?”
Sinta mengangguk.

“Aku tahu, Puppy.”

Bisma menyelipkan rambut Sinta yang terurai kebelakang telinganya. Harusnya ia pergi tadi, karena banyak alasan untuk pergi, tapi Bisma memilih tidak. Sebab untuknya, Sinta ialah luka sekaligus penyembuh yang paling Bisma suka.

Belai rambut gadis itu mengisi telapak tangannya, barangkali rindu ini akan menyenangkan jika kita jatuh cinta bersama-sama, pikirnya. Sayangnya tidak.

***

“Hoam!” Bintang menguap lebar-lebar seraya merentangkan tangan lebar.

Ketika dilihatnya jam dinding, ia tertegun. Tak biasanya ia bangun se-siang ini, dan semalam ia tidur nyenyak sekali, ketika bangkit dari kasur, badannya nyaman sekali, ia tak tahu tidur bisa sebegitu menyegarkan.

Ia bersandar pada tembok balkon memandang jendela kamar seberang kemudian tersenyum, “Ah! Segar sekali!”

Satu pesan masuk ke ponselnya, dan tidak beberapa lama kemudian, Nico muncul di depan dengan motornya.

Bintang turun.

“Kau baru bangun?”

Bintang hanya mengangguk, Nico malah terheran-heran, dicuaca sedingin apapun atau libur panjang sekalipun, temannya yang satu ini tidak pernah bangun siang, tapi ada apa dengan hari ini?

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang