Part 32

750 39 1
                                    

***

Fiona bergumam sendiri sambil memeriksa jinjingan yang dibawanya. Roti tawar, buah apel merah segar, beberapa kantung permen jelly dan selai kacang, dan beberapa buah ice cream coklat.

Apalagi cemilan yang Sinta sukai? Sudah cukup.

Semalam, ia dapat telepon dari Bintang kalau Sinta masuk rumah sakit, tetapi ia tak bisa menjenguknya. Jadi, ia sengaja izin dari sekolah dan menjenguk Sinta kemari, niatnya ia akan pergi sendiri, tetapi kenapa satu orang menyebalkan mengikutinya juga?

"Apa itu tidak berlebihan? Apa orang sakit akan memakan semua itu?"

"Arga, kau sepertinya belum mengenal Sinta, ini belum cukup tau! Lagipula, aku senang melihat Sinta banyak makan-hal yang tak bisa aku lakukan."

"Tidak bisa? Kenapa? mungkinkah-kau diet lagi!?"

Fiona terdiam sebagai jawaban 'ya'-nya.

Arga mengerut kesal. "Fi! Bagian tubuh mana yang berlemak sampai-sampai kau ingin diet lagi huh!?"

Fiona mendelik kesal, tapi di dalam, jantungnya serasa copot dan meloncat loncat di dalam perut.

Ia menghentakkan kaki pada aspal dan berjalan mendahului. Arga menyimpul senyum, menyatarakan langkahnya. "Kau senang 'kan ketika kubilang kurus?"

Arga berhenti karena Fiona menghentikan langkah, ia mengikuti arah mata Fiona, dari jauh dua orang terlihat sedang berbincang.

"Bukankah itu pria yang muncul hari itu? di sekolah dan di air terjun? Bintang 'kan? Dia ngapain sama Sinta?"

Arga ikut memperhatikan dua orang yang sedang serius berbicara itu. Sejurus kemudian, Sinta meninggalkan Bintang sendirian dan masuk rumah.

Tak lama, Bintang menyusul. Hal tersebut membuat Fiona penasaran, ia mengikuti kedua orang tersebut, Arga juga membuntutinya.

Fiona memiringkan kepala, menyandarkan bahu ke pagar besi. Ia memang tak bisa mendengar apa yang di bicarakan kedua orang itu. Namun dari sudut pandangnya ia lihat Sinta berdiri dibalik pilar rumahnya menghadap pintu, didepannya tak jauh dari tempatnya, Bintang berdiri didepan pintu sambil melihat ke arah jendela yang memunculkan sosok bayangan Sinta. keduanya saling menatap satu sama lain dengan perantara jendela itu.

"Menurutmu, mereka sedang apa?", tanya Fiona.

Arga memperhatikan kedua orang tersebut, "Menurutku sih, mereka sedang bertengkar dan Sinta ingin menghindar dari Bintang untuk kebaikan Bintang sendiri, karena itulah Bintang tidak bisa menemukan Sinta." Arga menatap Fiona dalam, "Karena Sinta adalah gadis yang baik."

Fiona balik menatap Arga sambil melipat tangan di dada, "Menurut pendapatku, Bintang tahu dimana Sinta bersembunyi. Dia ingin mengejarnya, tetapi tidak bisa. Dia ingin menjaga harga diri yang berusaha Sinta sembunyikan. Karena.. Bintang adalah pria yang baik."

Arga tersenyum dengan manis. "Apa rencanamu malam ini? Mau dinner di tempat biasa?"

"Gak mau!" Fiona membuang muka. "Besok ada ulangan matematika dan aku harus belajar. Ingat kan aku harus jadi dokter di masa depan."

"Kalau kau jadi dokter, lalu apa? Kau akan bertemu pasien dan menyentuh bagian tubuh mereka meski itu pria? kau tahu,aku tidak suka kau bersentuhan dengan pria lain. Satu-satunya pria yang boleh disentuh olehmu hanyalah.. aku."

Arga menarik tangan Fiona. "Juga tangan ini adalah milikku dan hanya aku yang boleh menyentuhnya, menggenggamnya. Kalau sampai ada tangan lain yang kau genggam selain aku di masa depan, lihat saja nanti!"

Fiona terkehkeh, "Baik, lihat saja nanti! Kalau aku membuka klinik, aku akan terima pasien tampan saja!" ia menghempas tangan Arga dan melenggang pergi.

Arga memberengut, "Apa dia sedang jual mahal sekarang? Hey Fi! Tunggu!"

***

"Terimakasih tante." Fiona dan Arga berucap serempak setelah disuguhi minuman.

"Sudah minum obatnya, sayang? Habis ini makan ya, Arga sama Fiona juga, tante sudah masak banyak."

Fiona tersenyum, lebih tepat meringis. Dietnya akan kacau balau kalau ia tergoda dan makan melewati batas yang ditentukan, tapi menolak masakan Mama Sinta merupakan ketidakmungkinan, perutnya tak mampu menghindar dari cita rasa luar biasa masakan tante Mary yang super enak.

Arga tersenyum menyadarinya, "Baik tante! Arga pasti makan, masakan tante 'kan enak banget, iya kan Fi?"

"Yasudah kalian lanjut ngobrol saja. Mama ada di dapur kalau ada perlu ya, Sinta."

Sinta merespon dengan anggukan. Ia menyandarkan punggung pada sofa, ia melirik jinjingan yang Fiona berikan. "Wah! Kau memang sahabat jiwaku!" matanya berbinar melihat makanan yang dibawakan Fiona.

Fiona baru sadar dari awang-awang setelah berimajinasi dengan masakan Mama Sinta, dilema antara diet dan memuaskan dahaganya.

Ia mengerjap, "Y-yah, kupikir aku tak tahu tentang hal-hal itu setelah lima tahun bersamamu? Aku itu tipe yang sentimentil, aku juga masih ingat nilai matematika mu enam bulan lalu."

"Lalu, kenapa kau lupa hari ulang tahunku tiga bulan lalu?" Arga menyela dengan raut wajah kesal.

Fiona mengatupkan bibir, melirik Arga disampingnya dengan ujung mata. Ia tersenyum lebar dan bergelayut di lengan Arga, "Hei aku 'kan tidak lupa, hanya sedikiiit terlambat."

"Iya, terlambat. Terlambat dua bulan. Kenapa baru kasih kado seminggu lalu huh? Aku ini pacarmu atau bukan!?"

Sinta menggeledah isi bingkisan yang di bawa. Membuka satu bungkus permen jelly beruang, sambil menyaksikan pertengkaran dua sejoli itu sambil mengecap rasa manis dan kenyal cemilan favoritenya.

"Yah, kenapa kau selalu seperti itu saat aku lupa? Kau harusnya mengerti ketika aku lupa, kepalaku terlalu banyak dengan rumus dan segala macam pelajaran!"

"Jadi kenapa tidak sekalian pacaran sama rumus!? Menyebalkan!"

Sinta sebenarnya menikmati pertengkaran pasangan kekasih itu, ketika tidak berada dalam satu tempat yang sama, mereka seperti pasangan LDR yang terpisah samudera dan benua, saling berucap rindu dan sayang yang bagi Sinta sangat menggelikan, tapi ketika mereka berdampingan, bukan seperti pasangan tapi musuh bebuyutan yang tidak pernah akur. Benar-benar pasangan sempurna.

"Kalian datang kerumahku untuk bertengkar? Kalau iya, pulang saja sana cari tempat lain!"

Pertengkaran antar Fiona dan Arga terpaksa jeda setelah mendengar klakson mobil di depan rumah Sinta.

Mary bergegas keluar rumah melihat tamu yang datang, tak lama ia kembali bersama seorang pria yang berumur tak jauh darinya, pria tinggi berbalut jas hitam dengan aksen biru denim, rambut disisir rapi, dan sepatunya mengkilat.

"Ah, ini pasti si kecil ya?"

Sinta berkerut heran. Apalagi ketika pria itu masuk, mengalihkan pandangan dari Sinta ke Fiona, lalu ke Sinta lagi. Jujur saja, begitu melihat pria berwibawa itu, Sinta terkesima. Untuk seorang paruh baya, pria ini sangat modis dan berkarisma. Ia menoleh ke mama-nya meminta penjelasan.

"Kamu lupa sama om, ya?"

***

-----------------------------------------------------------------

Siapa hayo??
Vote coment dinanti, dont be silent reader^^

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang