Part 2

2.7K 150 8
                                    

Matanya selegam arang, Tubuhnya menjulang tinggi nyaris 180cm, sedikit berisi dengan massa otot. Hidungnya berdiri tegak, segaris rahang yang tegas, dan potongan rambut yang sampai ke kedua matanya menambah nilai plus dari satu proporsi paras yang membuat wanita tidak segan untuk menghamburkan waktu mereka untuk sekedar menikmati salah satu ciptaan Tuhan yang tak dapat didustakan.

Bintang Natha Humam, memiliki nama yang berarti bintang pelindung yang damai. Hebat memang, tapi tiada satupun yang sempurna, begitu pula pria ini. Berbeda arti dari namanya, pria tampan yang kerap di panggil Bintang terduduk di kursi besi koridor rumah sakit sendirian, dengan tatapan kosong dan bahu merosot. Meski tubuh lelahnya mematung disana, hati dan pikirannya entah berada dimana rimbanya.

Bintang mengeluarkan ponsel menekan tombol panggilan cepat menunggu jawaban dari seberang. Tetapi, nihil . Sama seperti puluhan panggilan yang dilakukannya sejak siang tadi.

"Sinta masih dalam kondisi kritis. saya harap, pihak keluarga bisa tabah. Karena kecelakaan itu, salah satu ginjalnya hancur dan kami harus mengangkatnya. Mulai sekarang, Sinta harus hidup dengan hanya satu ginjal dalam tubuhnya, seumur hidup. Saya ikut prihatin."

Ucapan dokter membuat nyeri di dada kirinya, rasanya seperti ditekan benda tumpul, membuatnya pengap dan sulit bernapas. Seorang wanita yang ia tahu adalah Mama-nya Sinta langsung pingsan mendengarnya.

Bintang mengacak rambut gondrongnya frustasi. Kenapa hal buruk selalu datang bersamaan?

***

Dua minggu berlalu. Sinta masih belum bangun dari 'tidurnya'.
Berat bagi seorang Ibu melihat langsung benda-benda asing yang tiap hari ditusukkan ke tubuh Sinta. Ia hampir tak dapat mengenali anak kesayangannya itu berkat masker oksigen dan segala alat penopang hidupnya.

Setiap sore, Fiona datang bersama Arga sepulang sekolah. Dan beberapa teman di kelas dan guru-guru menjenguk kemarin.

Pagi ini, Mama Sinta bergegas menaiki lift menuju kamar anaknya di lantai lima. Secara tidak langsung, terbentuk sebuah jadwal tak tertulis untuk bergantian menjaga Sinta. Jam tujuh pagi sampai sembilan malam, Mary yang menjaganya, dan ketika malam Bintang yang bergiliran menungguinya.

Diawali sejak Bintang berlutut meminta maaf dan bersikeras menjaga Sinta. Mary sebenarnya tidak bisa begitu saja memaafkannya. Selamanya, ia tidak akan rela. Tetapi, satu hal yang disadarinya, Bintang melakukannya begitu tulus, dan anak muda keras kepala itu mengingatkannya pada sang suami ketika remaja dulu, di panti asuhan.

Lagipula, terus membenci tak akan mengembalikan keadaan seperti sedia kala.

Mary sampai ke ruangan Sinta, dan mendapati Bintang masih dengan posisi yang sama seperti ketika ia meninggalkannya semalam. Menyadari kedatangannya, Bintang bangkit mengangguk sopan lantas keluar kamar tanpa bicara sepatah kata pun.

Jelas sekali membuat sebuah jarak antara keduanya.

"Sayang, Bisma sangat khawatir mendengar kabarmu sekarang, dia langsung mempercepat pelatihan basketnya di pontianak dan langsung pulang, tapi karena pesawatnya delay 12 jam, dia bari bisa sampai tengah malam nanti. Tidakkah kamu ingin bangun dan bertemu dengannya? Mama kangen." air mata Mary luruh, lagi.

***

Taman. Tempat sempurna untuk melepas penat dan puas memandangi hamparan rumput hijau dan waktu ketika bunga-bunga matahari bermekaran.
Waktu yang sempurna ialah sore mendekati senja ketika matahari menggelincir sedikit demi sedikit ke ujung barat, dan bunga matahari yang terus mengikuti kemana arahnya.

Langit perlahan berubah warna, cantik sekali. Hal yang sama berlaku untuk Bintang, saat itu pertama kalinya ia bertemu dengan wanita cantik yang menjadi sumber cintanya, juga kesakitannya.

"Indah.."

Seorang wanita tinggi semampai dengan rambut sebahu menoleh dan melipat tangan di dada. Wajah eloknya jelas sekali sedang kesal. Ia tidak terkejut melihat penampilan Bintang yang sedikit berantakan, ditambah kantung mata hitam menggantung.
"Kau makin acak-acakan setiap ditinggal olehku?"

"Kenapa baru menghubungiku lagi sekarang, kau harusnya lihat panggilan tak terjawab di ponselmu itu." kata Bintang sedih.

Indah selalu begitu. Tiga tahun hubungan keduanya, nampak tak adil bagi Bintang. Kekasihnya selalu acuh meski Bintang memberikan semua perhatiannya, sampai mimpinya. Sahabat Bintang berseloroh mengatainya bodoh, yang justru perasaannya semakin kokoh. Sebab, Indah-lah yang mencarikannya alasan untuk tetap maju.

"Aku sibuk. Ada apa memanggilku?"

"Ingat? Tempat ini adalah tempat pertama kali kita bertemu, Indah. Aku merindukan-"

Bintang maju satu langkah lebih dekat, namun Indah melangkah mundur. "Aku benar-benar tidak ingin bersamamu lagi. Dan karena tempat ini pertama kali kita bertemu, tempat ini juga yang jadi tempat terkhir kita bertemu. Kita akhiri saja."

Bintang terdiam kelu. Gores demi gores luka yang diukir di relung hatinya menjelma menjadi luka besar nan menganga. Semuanya, berkat Indah. Entah ia yang bodoh terus menerima segala duka yang dihadiahkan untuknya, atau kata cinta yang membekukan logikanya. Hanya saja, ia tak ingin pergi dari sisi Indah.

"Tidak bisakah kau tetap tinggal? Apa aku masih belum cukup meyakinkanmu soal perasaan ini?"

"Pada akhirnya semua hubungan pasti berakhir, ini waktu kita. Ah seharusnya tidak ada kata 'kita' lagi. Jangan pernah menggangguku lagi seperti sebelumnya, Selamat tinggal."

***

"Kenapa kau tidak bisa ditinggal olehku seminggu saja? Kau berakting karena kesal hanya aku saja yang terpilih dalam pelatihan? Kau tahu apa yang harus aku lewati untuk sampai disini!? Aku terlantar seperti pengemis di bandara hanya untuk-" tiba-tiba ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. "K-kenapa kau selalu membuatku khawatir?"

Bisma memandangi Sinta dengan napas sesak. Biasanya, Sinta akan memekik girang saat Bisma kembali dari pelatihan. Namun kali ini, respon yang ia dapat hanya irama selaras dari monitor jantung. Bisma menyentuh tangan sahabatnya lalu menghela,

"Kau melewatkan banyak episode cartoon favorite-mu, aku akan menceritakan semuanya padamu. Maka, sadarlah sebelum aku lupa pada ceritanya."

Lama-lama, genggamannnya mengeras, diikuti dengan rasa panas dimatanya. Gadis ini, sudah bersamanya bahkan sejak balita, bermain, saling mengejek, menonton film menghabiskan malam minggu, bertengkar, saling beri nasihat. Sinta baginya seperti adik perempuan yang tak pernah dimilikinya, yang memberi warna pada harinya yang abu-abu, yang mengganggunya tidur siang, semuanya. Tidak peduli dengan gosip di sekolah kalau keduanya merupakan sepasang kekasih. Yang Bisma harapkan, Sinta kembali bermain dengannya lagi.

***

Bintang kembali ke rumah sakit ketika lewat tengah malam. Ia geser perlahan pintu ruang ICU. Ruang itu kosong dan sunyi tak bersuara, selain bunyi monitor alat bantu pernapasan.

Bintang menatap lekat-lekat wajah gadis manis yang kini menderita karena kecerobohannya. Hari itu, ia bertengkar hebat dengan Indah, pikirannya kalut, ia tak bisa fokus menyetir dan berakhir dengan menabrak gadis ini, gadis yang sekarang selalu ia jaga ditiap malamnya.

Mengapa melihat gadis ini, membuatnya makin teringat dengan sosok Indah? Dilihat lagi, sekilas gadis ini nampak mirip dengan Indah. Hanya saja ia lebih mungil dan manis ketimbang Indah yang berkaki jenjang dengan tubuh proporsional.

Bintang terdiam lama memperhatikan tiap senti wajah Sinta. Ia mengulurkan tangan menyentuh rambut Sinta dengan sangat hati-hati.

Tiba-tiba terdengar tempo jantungnya yang lain dari sebelumnya. Bintang melihat monitor yang berubah, kemudian ke Sinta lagi. Ia terkejut.

"Ka-kau.. kau sudah sadar?"

Sinta menutup dan membuka matanya kembali. Kemudian menjelajahi kesekeliling ruangan bercat putih yang berbau bahan kimia dengan matanya yang sayu. Gadis itu menatap Bintang, dengan segenap tenaga untuk membuka mulutnya.

"Kenapa.. Kau ada disini?"

***

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang