Part 68

596 34 0
                                    

Matahari merangkak turun, laut pantai siap menenggelamkan cahaya tersebut, dan bulan akan menggantikan hari yang terik dengan kesejukan malam dan temaram-nya cahaya bulan berpadu dengan kelap-kelip bintang.

Bibir pantai jauh lebih ramai dari siang, beberapa turis domestic dan dua turis asing tidak ingin ketinggalan menikmati momen sunset yang indahnya tak terkira, mengabadikannya dalam sebuah foto atau cukup memanjakan matanya dengan ciptaan Tuhan yang tidak ada tandingannya.

Semburat merah muncul di langit, diikuti sinar jingga kuning meski langit biru masih mempertahankan warnanya. Matahari belum tenggelam, sisi lingkarannya bahkan belum menyentuh batas laut, tapi Sinta yakin sang surya tenggelam sesaat lagi.

Sinta memandanginya penuh takjub, serta rasa syukur. Ia terlalu serakah karena sering mengeluh akan penyakitnya, namun tak menyadari ada hal lain yang patut disyukuri, pemandangan cantik yang satu ini.

“Wah, ini sangat menakjubkan. Aku harap bisa melihat ini selamanya.”

Bintang yang sedari tadi memandang wajah Sinta di sampingnya tersenyum lebar, “Kau benar. Suasana seperti ini hanya terjadi sekali seumur hidup, mungkin dua kali. Jadi, tiap detiknya berharga."

Setelah insiden perut keroncongannya beberapa saat lalu, Sinta memberinya beberapa makanan yang ada didalam bagasi motor, beberapa buah sosis, dan sepotong roti kemasan. Katanya, itu dibeli sebelum Sinta menemuinya.

Bintang melahap sosisnya yang ketiga, ia sepertinya benar-benar lapar. Makanan terakhir yang ia makan adalah ayam goreng yang di pesan Sinta kemarin malam, dan sampai siang tadi ia belum makan apapun.

“ssaem, apa di surga ada pemandangan seperti ini?”

“Tentu saja, tapi seribu bahkan sejuta kali lebih indah, lebih cantik, dan lebih menganggumkan.”

“Kalau begitu syukurlah, sepertinya ayah melihat pemandangan indah seperti ini disana.” Sinta menoleh, “Aku dengar dari semua orang yang mengenal ayahku semasa hidup, katanya ayah orang yang sangat santun, baik dan banyak di sukai oleh orang lain. Orang baik pasti akan pergi ke Surga kan?”

Bintang mengangguk, “Ayahmu sudah berada di tempat yang lebih baik sekarang, kau tidak perlu khawatir lagi.”

Setelah itu hening, Sinta asik menatap langit yang sekarang di dominasi warna jingga. Ia tertawa kecil melihat dua turis asing yang berswafoto dengan pemandangan laut di belakangnya.

Bintang menghela, “Sinta.. kedua orang tuaku akan bercerai.”

Sinta menoleh dan diam, memberikan waktu untuk Bintang melanjutkan carita.

Bintang tersenyum samar, “Yah, kurasa tidak buruk juga, harusnya mereka lakukan itu sejak awal. Atau, mungkin saja mereka menungguku sampai cukup dewasa untuk mengurus diriku sendiri. ya, ini lebih baik.”

Sinta prihatin. “Ssaem, tidak ada yang lebih buruk dari perceraian orang tua. Meski kehilangan ayah sejak umurku lima tahun itu hal yang menyedihkan, tetapi melihat dua orang kita cintai memutuskan pergi lalu mencari dan memulai kehidupan baru dengan orang lain itu jauh lebih sakit.”

Sinta menyentuh bahu Bintang, “Tapi, kau adalah pria hebat terkuat yang pernah kutemui. Kau sudah mengalami pengalaman buruk sejak berumur tujuh tahun, melewati tahun-tahun sulit bersama kedua orang tuamu yang selalu bertengkar, dan kehilangan cinta pertamamu, meski begitu kamu masih bisa tersenyum lebar dan tidak pernah menyerah. Kau lupa ya? Kau juga punya obat yang siap menyembuhkanmu disini. Aku akan selalu mendukungmu, apapun keputusanmu.”

Bintang menunduk, “Aish.” Matanya panas dan memerah. Sekuat tenaga ia tahan tangisnya yang nyaris tumpah.

“Meski aku baru mengenalmu belum lama ini, aku percaya kau adalah pria yang baik. Buktinya kau mau bertanggungjawab dan mencoba menyelamatkanku hari itu. kau pria yang cerdas, dan kuakui kau itu cukup tampan, jadi apapun keputusanmu di persidangan nanti, entah kau memilih ibumu atau ayahmu, masa depan akan menunggumu dengan sabar, dan memberimu kesuksesan. Kau bisa melakukannnya.”

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang