Part 36

793 37 2
                                    

Nico melenggang memasuki rumah megahnya dengan santai sambil bersenandung menuju dapur, tempat kesukaannya.

Ia tidak suka makan, apalagi memasak. Baginya, dapur ialah satu-satunya tempat yang hidup dari rumah gedongan ini.

Rumah yang selalu sepi, seperti mati. Ia disambut dengan Mas Unang dan Mba Arti, pasangan suami istri yang telah bekerja dengan keluarganya puluhan tahun.

Keduanya memiliki seorang anak yang nyaris seumuran dengan Nico, dan jujur saja Nico iri dengan anak itu. Pemuda yang dihidupi dengan kasih sayang tak hingga, bukan tumpukan harta dan fasilitas mewah.

"Mba masak sop hari ini?"

Ia mencicipi sop daging dengan sendok sayur langsung dari panci. Tangannya di tepuk oleh Mba Arti, "Eh, makan kok gitu sih. Ini mba udah siapin di mangkok."

Nico tersenyum lebar pada wanita yang mendekati setengah abad itu, wajahnya nampak kerutan-kerutan yang kian hari kian bertambah, ia bahkan ingat dimana letaknya.

Lain dengan ibunya yang bak porselen, ia nyaris lupa bagaimana paras ibunya.

Baginya, Mba Arti sudah cukup yang jadi ibunya, toh selama ini Mba Arti yang mengurusnya.

"Loh, kok ada dua mangkok Mba?"

"Temennya Den Nico kan datang, jadi mba sekalian wadahin."

Nico tidak tanya siapa yang mendatanginya tanpa izin, siapa lagi kalau bukan si pembuat masalah itu?

"Nico ke kamar dulu ya? Satu jam lagi bawain camilan ya mba."

***

"Apaan tuh?"

Bintang mendongak ketika pemilik kamar masuk. Lalu, ia kembali menonton televisi yang sama sekali tak menarik. Tangannya sibuk memasukkan permen jelly beruang warna warni yang terasa manis dan kenyal ke dalam mulut.

Nico menaruh dua mangkuk sop di meja.

"Ini makanan." jawab Bintang cuek.

"Kucing dalem got juga tau itu makanan, maksudnya tumben makan makanan yang kaya begitu? Seumur-umur kan gak suka makanan manis, apalagi permen jelly, beruang lagi. Sejak kapan?"

Sejak Sinta bilang kalau permen jelly beruang adalah salah satu makanan favoritenya.

Bintang mengangkat bahu malas menjawab. Nico meraih mangkuk sopnya.

"Tumben kesini. Padahal udah lama ya? Eh motorku apa kabar? Dia gak ngambek kan? Woi! Bintang!"

"Iya." Jawab Bintang asal.

"Iya apa?"

"Gak tau."

Nico melempar sendok ke wajah Bintang, tapi meleset. Padahal ia ingin sekali membuat memar wajah tampan itu. ia mencibir kesal. "Kenapa sih?"

Bintang menghela. Ia mengeluarkan tiga permen jelly, warna coklat, biru serta kuning dan meletakkannya di atas meja, mensejajarkan mereka.

Ia meraih dua dari tiga permen jelly itu saling berhadapan. "Jadi si biru dan si kuning ini sudah bersama sejak lama sekali. Tapi, suatu hari si coklat datang dan mengacau." Ia menempatkan beruang coklat diantara kedua beruang tadi dan melanjutkan. "Si coklat awalnya biasa saja, tapi karena si biru selalu melihatnya dengan cara yang berbeda, si coklat pun suka dengan si biru. Tapi si kuning tidak setuju, dan menyuruh si coklat untuk pergi meninggalkan si biru. Ketika si coklat hendak pergi, si biru jadi marah padanya-"

"Kau ini bocah? Bermain seperti itu?"

Bintang mengumpat. "Sudahlah! Tak ada gunanya bicara denganmu!"

Nico melirik Bintang yang menyandarkan kepalanya ke sofa. Lalu, ke tiga beruang diatas meja. Ia berpikir, lama. "Beruang biru itu, Sinta kan?"

"Bagaimana kau bisa tahu!?"

"Jadi benar? Aku hanya menebak karena pernah lihat dia pakai piyama biru. Dan karena kau suka warna coklat, pasti yang itu. Tapi, siapa beruang kuning?"

"Dia sahabat Sinta." kata Bintang. Nico berkerut, "Jadi sahabat Sinta menyuruhmu meninggalkan Sinta? apa jenis kelamin beruang kuning itu?"

"Jantan." Dinginnya.

Nico mengangguk-angguk, "Sudah pasti. Tidak ada namanya persahabatan antara pria dan wanita, jadi si kuning itu menyukai Sinta jadi ia tak ingin kau dekat dengan Sinta."

Bintang menghembuskan napas kasar. "Argh, dia itu orang yang sungguh aneh."

"Aneh bagaimana? Dia terlihat biasa saja, terlalu biasa malah."

"Beraninya kau bilang kalau dia biasa-biasa saja. dia itu sangat cantik dan menggemaskan tahu!!? Tarik kata-katamu!" serunya sambil melotot.

"Baik-baik. Dia memang cantik, rambutnya hitam panjang, wajahnya juga imut, ya kau benar dia sangat menggemaskan." Gumam Nico sambil tersenyum-senyum.

"Yak! Apa yang kau baru saja memikirkan tentang Sinta? Hapus wajah itu dari pikiranmu! Cepat!" seru Bintang berapi-api.

Nico mencibir, aku harus menelpon psikiater.

"Argh.. Siapa orang di bumi ini yang ingin melihat matahari terbit sepuluh kali dalam sehari huh? Dia itu sangat aneh!"

"Aaah.." Nico mengangguk mengerti, belum pernah ada orang yang bicara omong kosong seperti itu.

Bintang gusar, "Begini.. dia itu gadis yang rapuh, kenapa ia sangat tidak ingin di tolong? Dan, kalau kulihat porsi tidurnya yang tidak wajar, bahkan maba semester 1 FK pun tau ia punya gangguan pelepasan stress. Dan tidur terlalu berlebih itu kemungkinan penderitanya sangat kesepian. Tapi kenapa? Sinta punya Mamanya, punya Bisma dan sahabatnya yang selalu di sampingnya. Apa karena ayahnya? Dan lagi, kenapa ia begitu benci seseorang melakukan sesuatu untuknya?"

"Yaah, itu mungkin saja kebiasaan sejak kecil, kan? dan, kenapa terus terusan bertanya pertanyaan yang tidak bisa ku jawab sih?"

Bintang merenung. Nico melahap permen jelly di atas meja. "Dia memiliki gangguan pelepasan stress juga? Sepertinya kalian sama dan yah.. kau harusnya menirunya saja, jangan melakukan hal itu. setidaknya tidur tidak akan melukaimu."

Bintang terdiam, dan melirik pergelangan tangan sebelah kirinya.

"Kau masih kekeh tidak ingin minum obat? Bagaimana kalau kejadian lalu terulang lagi?"

Bintang tersenyum tipis, sangat tipis.

***

Mary menjinjing dua buah kantung belanjaan susah payah. Seharusnya ia mengiyakan tawaran karyawan swalayan tadi untuk membantunya membawa belanjaannya. Area parkir masih cukup lapang untuk ia lewati, akan lebih baik bila seseorang membantunya.

"Tante Mary!"

Mary celingak-celinguk mencari siapa pria bersuara bass yang memanggilnya.

Kemudian, ada sebuah tangan yang mengambil alih belanjannya. "Eh, Bintang! Kok kebetulan banget ada disini?"

"Sini Bintang yang bawa tante. sendirian aja gak sama-sama Sinta?"

"Sinta belum pulang sekolah, lagipula dia akan membuat ratusan alasan supaya gak ikut belanja sama tante. Aneh memang, padahal anak cewe itu paling senang belanja."

Ya, aneh tapi menggemaskan.

"Nah, itu mobilnya. Makasih loh Bintang."

Bintang menaruh semua belanjaan ke bagasi mobil.
"Ah, cuman gini 'mah gampang tante. ada lagi yang perlu di bawa sama Bintang?"

"Ada, kamu!"

"Ya?"

"Iya, kamu! Ini kan udah jam-nya makan siang, karena kamu udah bantu tante, tante traktir!"

***

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang