Part 64

484 32 5
                                    

Hai teman semuaaa!! Mohon maaf selama ini aku gk update berhubung karena laptopku rusak, tapi udah baik kok!!
Untuk menebus kesalahanku *cielah aku bakal kasih dua part, atau tiga part sekaligus hari ini..
Happy reading yaaaa! Semoga suka dan mohon kritik dan sarannyaaaa.. 😇

***

“Pakai sabuk pengamannya, sayang.”

Lembut tutur Mary mengingatkan anaknya.

Semalam, ketika pertemuannya dengan investor asing di Kalimantan baru berjalan, ia menerima pesan singkat dari Dr. Jo mengenai cek up dan cuci darah anaknya.

Langsung saja, ia mempersingkat pertemuan tersebut, dan memesan tiket pulang ke rumah.

Sinta menarik safe belt-nya, “Mama gak cape harus nyetir sekarang? Mama kan baru sampai subuh tadi.”

Sinta cemas, meski mama-nya terus meyakinkannya baik-baik saja, wajah letih itu tak bisa membohongi Sinta. Pagi tadi, ia terbangun oleh suara ramai di dapur, dan harum aroma masakan. Ia yakin seratus persen mama-nya belum tidur semalaman, harusnya ia beristirahat begitu sampai, bukan memasak dan mengantar anaknya ke dokter.

“Tenang aja, mama gak bakal ngantuk lagi nyetir kok, mama udah kenyang tidur di pesawat.” Ujar Mary.

Sinta meragukan itu. Ia teringat ketika umurnya masih tiga belas tahun, pertama kali ia melakukan cuci darah di rumah sakit.

Ia gugup, tapi dokter Jo tersenyum dan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Tapi, kalimat penenang itu tidak berpengaruh untuk mama-nya, semalaman, Mary menemani anaknya yang di rawat inap tanpa terlelap sama sekali, saat cuci darah berlangsung pun, ia melihat wajah ibunya di pintu masuk, dengan tangan yang di letakkan di dada, sambil terus memanjat doa.

Bicara soal tadi pagi, begitu ia turun dan menghambur ke mama-nya yang menyiapkan makanan, Bintang dan Om Bayu sudah tidak ada. Mamanya bilang, mereka berdua langsung pamit pergi, dengan kawalan dua mobil yang ditumpangi orang-orang berpakaian serba hitam.

Sinta penasaran, kawalan dua mobil dan orang-orang berjas hitam.

“Ma, memang perusahaan yang di jalankan Om Bayu itu apa?”

“Setahu Mama, saat Om Bayu diberikan seluruh saham perusahaan yang dimiliki Kakek Bintang, otomatis membuat Om Bayu menjadi CEO Humam Contruction, saat itu perusahaan berjalan di bidang kontruksi. Sepuluh tahun lalu, negara kita mengalami krisis keuangan yang parah, tetapi Om Bayu mampu mempertahankan pondasi-pondasi perusahaan yang jadi tanggungjawabnya dari kebangkrutan. Dan, setahu mama dalam waktu tiga belas tahun, Om Bayu mampu melebarkan perusaahaannya dan mendirikan banyak cabang dan anak perusaahaan di seluruh Indonesia. Sekarang, Humam Contruction berubah nama menjadi Humam Group, perusahaan paling sukses di Indonesia yang bergerak di bidang kontruksi, pariwisata, kuliner, dan komunikasi, transportasi dan kemanaan.”

“kalau mama tidak salah lihat, orang-orang tadi dari HS—Humam Security, perusahaan jasa keamanan, salah satu anak perusahaan yang di didirikan Om Bayu, kamu tahu sayang? Para petinggi negara kita banyak yang menyewa jasa pengawal dari HS.”

Sinta mengerjap tidak percaya. Mamanya berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. “Bahkan, stasiun televisi dengan acara cartoon setiap jam tujuh pagi yang selalu kamu tonton tiap pagi, Om Bayu pemiliknya.”

Sinta menutup kembali mulutnya yang tak sengaja terbuka. “Wah, Sinta gak tahu Om Bayu se kaya itu. Tapi Ma, kenapa Sinta gak pernah lihat beritanya di tv?”

“Karena mama dulu pernah jadi sekretaris Om Bayu sebelum menikah dengan ayahmu, sayang.” Lampu lalu lintas berganti hijau, Mary menekan pedal gas dengan kakinya. “Om Bayu paling tidak suka kehidupan pribadinya bocor ke media. Sampai saat ini, yang media ketahui adalah Om Bayu memiliki pewaris tunggal untuk perusahaannya, gak lebih.”

Sinta menghela mengingat Bintang yang sangat misterius, mobil memasuki area parkir rumah sakit. Hari ini, akan jadi hari yang melelahkan, melewati  rangkaian tes dan cek tubuh, kemudian disambung dengan dialysis yang akan memakan waktu berjam-jam.

Tanpa Sinta sadari, ponsel dalam tasnya bergetar sejak tadi. Ia lupa mengembalikan ke mode normal. Bintang menelponnya beberapa kali, kemudian mengirim pesan singkat.

From : Ssaem

Maaf aku tidak bisa menemanimu ke rumah sakit hari ini, akan kuhubungi lagi nanti ya!

***

Jam-jam melelahkan dilewati Mary. Ia baru terlelap satu jam saja sejak kemarin sore. Di dalam pesawat, ia tidak bisa beristirahat sama sekali.

Ia beruntung memiliki sekretaris yang sigap dan selalu bisa diandalkan di waktu yang sangat dibutuhkan saat ini.

Ia memandang anaknya yang berbaring di ranjang, dengan sebuah alat tepat disamping ranjang.

Seharusnya ini bukan hal baru, mengingat Sinta sudah melakukan dialysis pertama kali sejak umur tiga belas tahun. Tapi, melihat darah yang mengalir ke selang, masuk ke dalam sebuah mesin, dan dikembalikan ke dalam tubuh Sinta membuat hatinya mencelos, belum lagi bermacam-macam test yang harus dilalui anak perempuannya itu. Jangan lupakan, penantian panjang untuk transpaltasi ginjal yang tak kunjung datang.

“Minum ini dulu, Mary.” Dr. Jo memberikan satu cup coffee dari mesin otomatis di luar rumah sakit, kemudian mengajaknya duduk.

“Serahkan Sinta pada dokter, dia mendapat perawatan terbaik.”

Mary menurut. Mereka berbincang ringan, Dr. Jo—dokter terbaik yang pernah Mary temui, pria berperawakan kecil, dengan rambut beruban dan kacamata silinder yang bertengger di jembatan hidungnya. Mary mengenal Dr. Jo sejak pengobatan penyakit ginjal Panca sepuluh tahun lalu.

Ditengah pembicaraan mereka, sirine ambulans berderu membelah jalan, langsung di sambut petugas UGD yang langsung bergegas memberi pertolongan dan membawa pasien keruangan yang telah disediakan. Mary memandangi para petugas UGD sampai mereka benar-benar masuk ke ruangan di samping mereka.

“Dr. Jo,  kau tahu? Dulu ketika aku sedang berkendara di jalan dan mendengar suara sirine ambulan, aku berpikir, Aku harus memberi jalan untuk mereka, padahal aku juga sedang terburu. tetapi setelah anakku sakit, kau tahu apa yang aku pikirkan?" Mary mengambil napas sesaat, "Dijalan pasti banyak kecelekaan lalu lintas kan? apakah ada orang yang ingin memberikan ginjalnya kepada putriku diantara orang-orang yang tewas?”

Ambulans lain datang, Mary memperhatikannya lagi.

“Sirine ambulans berarti ada yang terluka, mungkin itu tragedy mengerikan untuknya, tapi bagiku.. ada secercah harapan meski itu sangat kecil. Aku ini, kejam ya dok?”

Dr. Jo menyentuh bahu Mary. “Tidak, kau tidak kejam. Aku akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan Sinta. Aku janji.”

***

Next??

Fate In You (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang