Bekerja Lebih Mulia

266 25 0
                                    

Pengembaraan Gak Cin Lee ke wilayah Uighuristan pun dimulai.

Untuk bertahan hidup, sesekali ia melakukan pekerjaan kasar dari pasar ke pasar untuk mendapat upah. Sering orang kasihan dan menyayangkan kerja beratnya ini karena tak sebanding dengan wajahnya yang elok. Namun, Cin Lee tak menghiraukan pandangan orang.

Pada suatu hari, ia tiba di wilayah Lok Yang. Sebuah kota besar yang ramai, terletak di dataran subur dekat pertemuan Sungai Lok dan Sungai Kuning. Kota strategis ini sangat subur, karena pada akhir musim dingin, air dari salju yang mencair di atas endapan lumpur, akan membasahkan tanah dan tersimpan beberapa lama hingga datang hujan. Tanah lembab itu menjadi lahan potensial menumbuhkan berbagai jenis tanaman.

Sebelum memasuki daerah perkotaan yang ramai dan dipadati rumah-rumah penduduk, Cin Lee melewati sawah ladang yang luas menghijau permai. Pepohonan besar yang daunnya rimbun, berbaris-baris meneduhkan sepanjang jalan menuju kota tersebut.

Setibanya di kota itu, uang Cin Lee benar-benar sudah habis. Perbekalan makanannya juga kosong. Seperti biasa, dengan perut lapar, ia pergi ke pasar. Mencari lowongan kerja sementara. Akan tetapi, tak dinyana, semua orang di pasar Lok Yang menolaknya.

"Kami sudah punya tukang pikul sendiri," tolak pemilik sebuah toko sembako. Wajahnya terlihat iba pada Cin Lee. "Maaf, Nak. Bukannya tak ingin membantu. Tapi tempat ini sudah dikuasai Ang-i-kaipang. Hanya orang-orang mereka yang boleh bekerja di pasar ini."

Cin Lee melakukan gongshou, yakni memberi hormat dengan menyatukan sepasang tangan. Tangan kiri membungkus tangan kanan, diangkat dengan lengan membentuk busur di depan dada.

"Tidak apa-apa, Paman. Saya mengerti."

Orang itu terkesan dengan sikap sopan pemuda remaja di depannya. Anak itu juga tidak meminta-minta. Malah ingin bekerja, menunjukkan harga diri yang mengagumkan. Matanya sangat jernih, bukan mata anak-anak biasa. Parasnya pun sangat elok meski tersaput debu. Pakaiannya dekil, penuh tambalan, kasar dan lusuh.

"Agaknya kau lapar. Ambil ini, Nak." Orang itu menyodorkan sebungkah besar roti.

"Maaf, Paman." Cin Lee mundur selangkah ke belakang. "Saya bukan pengemis, dan tidak hendak menerima makanan gratisan," tegasnya, meski usus di perutnya meronta. "Ayah saya sering bilang, mengemis itu pekerjaan hina. Laki-laki itu lebih mulia dengan bekerja."

Orang itu semakin kagum.

"Tapi, Nak, kau memang tidak meminta. Akulah yang ingin memberimu. Ambillah, supaya Tuhan membalasku dengan kebaikan," desaknya seraya tersenyum ramah.

Cin Lee tampak ragu-ragu. Orang itu segera menjejalkan roti ke tangannya.

"Baiklah, Paman," kata Cin Lee, akhirnya menerima. "Semoga Tuhan memberi saya kesempatan untuk membalas kebaikan Paman."

Orang itu hanya mengangguk-angguk, haru.

Cin Lee menyimpan roti itu dalam buntalan pakaiannya. Kemudian bersiap melakukan perjalanan. Roti itu cukup untuk makan sehari ini. Akan tetapi, baru selangkah ia berjalan, mendadak ia dikejutkan dengan kehadiran tiga orang berperangai kasar dengan pakaian merah penuh tambalan, seperti pakaian pengemis.

"Hai, Gu San! Kau belum memberi sedekah pada kami hari ini!" bentak salah seorang di antara mereka.

Pemilik toko sembako yang dipanggil Gu San terkejut. Tubuh gemuknya menggigil ketakutan.

"Ma-maaf, hari ini pembeli sedang sepi, jadi keuntungan belum cukup untuk sedekah."

"Sedekah itu tidak menunggu sampai cukup! Perlu pengorbanan! Kalau tidak bisa dalam bentuk uang, berikan saja barang-barang daganganmu!" tukas orang itu lagi. "Dan anak ini," Ia melirik Cin Lee dengan sorot tidak senang, "berani betul mengemis di sini! Ini wilayah kekuasaan Ang-i-kaipang! Tak seorang pun boleh mengemis di wilayah ini selain kami!"

Cin Lee mengerutkan sepasang alisnya.

"Maaf. Aku bukan pengemis! Dan tidak sedang mengemis di sini. Setahuku, sedekah itu tidak boleh dipaksa. Harus berdasarkan kerelaan hati."

Orang dari Ang-i-kaipang itu melotot.

"Orang-orang pelit itu kalau tak dipaksa mana mau sedekah?!" serunya. "Dan kau, orang asing, masih muda tapi lancang betul bicara!"

"Aku tidak ingin lancang," sahut Cin Lee, tidak suka melihat sikap kasar para pengemis baju merah itu. "Tapi sikap kasar kalianlah yang memaksaku untuk bicara."

Gu San segera menarik tangan Cin Lee.

"Nak, sudahlah. Kau tidak perlu berurusan dengan mereka. Nanti bisa celaka!" tegurnya lirih.

Namun, Cin Lee tak bisa mendiamkan kesewenang-wenangan ini. Ia juga tidak takut. Ayahnya telah memberinya bekal ilmu silat tinggi yang lebih dari cukup. Maka, ia pun terus bicara sambil berancang-ancang melindungi diri.

"Kalian kelihatan sehat dan kuat. Sebaiknya bekerja. Malulah mengemis."

Bukan main gusarnya tiga pengemis baju merah itu. Mata mereka melotot dan muka pun rasa terbakar.

"Mulutmu kasar betul!" teriak seorang yang paling kurus.

"Sepertinya dia harus dikasih pelajaran, Twako!" geram kawannya.

Si kurus melompat maju.

Gu San mencemaskan nasib Cin Lee. Ia berpikir, anak yang tampak halus, kurus dan lemah itu pasti akan babak belur di tangan orang-orang Ang-i-kaipang yang ganas ini. Mereka adalah perkumpulan pengemis golongan sesat. Suka menindas para pedagang di sini dengan dalih minta sedekah. Kelakuan mereka ini, parahnya, dilindungi oleh aparat. Mereka pandai menjilat dan menyuap.

"Tolong biarkan dia!" Gu San merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. "Anak ini masih polos. Dia kerabat jauhku yang baru datang dari kampung. Sama sekali bukan pengemis!"

Mata si kurus melotot.

"Kalau begitu, kaulah yang harus bertanggungjawab atas kelancangan mulutnya, karena kami telanjur terhina!"

Satu gamparan menderu ke arah muka Gu San.

Plakk!

Si kurus berseru kaget. Tamparannya beradu dengan sebuah lengan yang membuat tangannya bergetar dan panas. Tubuhnya sampai tersentak selangkah ke belakang.

Cin Lee tegak membelakangi Gu San dengan sikap tenang.

Si kurus menjadi murka. Sudah terang pemuda remaja itu yang telah menangkis pukulannya ke arah Gu San. Ia saling pandang sejenak dengan teman-temannya. Lantas tanpa rasa malu, mereka mengirim serangan berbarengan. Mengeroyok Cin Lee.

Gu San terlonjak saking khawatir. Namun, alangkah leganya tatkala menyaksikan Cin Lee mampu menghindari serbuan para pengeroyoknya dengan mudah. Bahkan gerakan pemuda itu makin lama kian cepat. Dalam segebrakan, tiba-tiba Gu San menyaksikan tiga pengemis baju merah itu sudah terlempar keluar dari tokonya.

Mereka jatuh gedubrakan di tanah yang agak becek bekas hujan semalam.

Semua orang di pasar terkejut dan tertarik untuk menonton. Dalam waktu singkat, tempat itu pun ramai oleh kerumunan orang-orang.

Para pengemis baju merah bangkit dengan mulut meringis-ringis sambil mengusap pantat mereka yang mencium tanah. Akan tetapi, belum juga mereka berdiri tegak, bayangan Cin Lee tiba secepat kilat mengirim tamparan.

Plak! Plak! Plak!

Tiga pengemis itu pun kembali terpelanting.

"Itu hadiah atas kekasaran kalian!" dengus si anak muda sambil menggosok-gosokkan kedua belah tangannya seakan habis membersihkan debu dari sana. "Jangan pernah mengganggu paman ini lagi!"

Tiga orang itu marah sekali, tapi sekaligus jerih. Bayangkan, baru segebrakan, mereka sudah terlempar. Remaja yang terlihat ringkih dan lembut itu ternyata sangat kuat.

Si kurus kemudian beringsut menjauh sambil menudingkan telunjuknya.

"Awas! Tunggu saja pembalasan kami! Kau dan pamanmu itu akan menyesal berurusan dengan kami!" ancamnya, terus lari terbirit-birit disusul teman-temannya.

***
Bersambung

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang