Genderang Perang (3)

155 16 0
                                    

“Putus? Semudah itu?” Ming Ji Li mendesis tak percaya.

Guo Siauw Ing mengamati perubahan airmuka putrinya.

“Jika politik hanya dipahami sebatas memperjuangkan kepentingan sepihak, maka akan terjadi pembenaran atas tindakan sezalim apapun.” Tatapan sang putri menerawang.

Guo Siauw Ing tertegun. Agaknya tekanan berat persoalan selama beberapa minggu ini telah mendewasakan putrinya.

Putri belia itu termenung dengan batin terguncang. Sepuluh tahun jalinan pertunangan, putus dalam sekejap. Serapuh itukah?

Hanya karena embusan fitnah sesaat, dengan ringannya terungkap kata berpisah.

Jantung Ming Ji Li serasa diiris beling. Terluka. Pangeran Kwee telah menjadi bagian hidupnya, meski Ming Ji Li belum siap mengabdikan hidup sebagai istri. Sekerat hatinya tercabik. Berdarah.

Bukan sekedar perpisahan yang membuatnya kecewa. Namun ini lebih karena marahnya ia pada kesombongan penguasa, yang menetapkan keputusan sekehendak hati, tanpa seorangpun berdaya menentangnya.

Atas nama harga diri politik, tindakan apapun dibenarkan.
Tak ada artinya sebuah rasa bernama cinta, bagi seorang bangsawan seperti dirinya dan Pangeran Kwee. Terbukti dengan hangusnya ikatan pertunangan mereka dengan mudah dalam sekejap, digantikan dengan hubungan perang.

“Bunda.” Bening biru itu kini mengucurkan airmata patah hati. “Apakah ayahanda sungguh-sungguh akan menyerang kerajaan Yuan?”

“Mereka telah membatalkan pertunangan secara sepihak. Itu dianggap ayahmu sebagai tantangan terselubung bagi kedaulatan Dinasti Ming.”

Ming Ji Li terduduk lemas. Resiko patah hati, masih sanggup ia tanggung. Tapi perang? Bagaimana nasib Pangeran Kwee jika Yuan kalah? Dan bagaimana derita kerajaannya sendiri jika terpukul kekalahan? Tak ada yang disukainya.

“Bunda, perang ini harus dicegah!”

“Jenderal Lan Yu beserta pasukannya sudah berangkat, Nak.”

“Kita bisa mengirim utusan untuk menyusulnya!”

“Tidak, Li-ji. Persoalan ini di luar kapasitas kita.”

“Apakah seorang wanita tidak layak memberikan pendapat politik? Bukankah nabi kita sendiri menghargai hak politik wanita?!”

Guo Siauw Ing tertegun mendengar protes putrinya yang cerdas.

Ming Ji Li tidak menunggu tanggapan ibunya. Ia beranjak dan melangkah lebar menuju ruang kerja ayahnya. Guo Siauw Ing buru-buru menyusulnya.

Kaisar Hongwu menunjukkan tampang datar saat menerima protes putrinya.

“Li-ji,” ucapnya lunak, “ayahanda mengerti perasaanmu. Akan tetapi, masalah ini tak sebagaimana yang kau lihat. Selama sepuluh tahun ini, Kim-i-wi, intelijen kita, telah menangkap gelagat pemberontakan Yuan. Raja Yuan bahkan sudah berani mengurangi pengiriman upeti. Dia hanya sedang menunggu saat yang tepat untuk memancing kita.”

“Dan Ayahanda terpancing, padahal bukti nyatanya belum terpampang di depan mata!” cetus Putri Ming Ji Li, penasaran.

“Ayahanda tidak terpancing, hanya ingin mengantisipasi. Ini adalah strategi gertakan. Biarkan Jenderal Lan Yu bernegosiasi. Kalau Raja Yuan melunakkan sikapnya, bersedia mematuhi standar upeti dan membekukan militernya, maka perang bisa dicegah.”

Jantung Ming Ji Li berdegup harap cemas. O, semoga perang ini tidak terjadi. Semoga pangerannya selamat.

✿✿✿

Aku tak bisa memenuhi permohonanmu untuk memohon kemurahan hati ayahmu, Tuan Putri.

Kepentingan dan harga diri kami jauh lebih utama. Kami bukan bangsa pengecut. Sedang aku adalah bagian dari bangsaku.

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang