Phibu di Thian San (4)

155 19 2
                                    

Gu Siok, selaku tuan rumah, membungkuk hormat pada sang putri.

“Tuan Putri, kami sangat tersanjung dan merasa terhormat atas kedatangan Anda. Mohon maaf apabila pelayanan kami kurang berkenan, disebabkan ketidaktahuan kami. Akan tetapi, Yang Mulia putri, persoalan dunia jianghu, biarlah kami urus sendiri, tidak perlu merepotkan Anda!”

Sinar sepasang mata biru menancap tajam ke arah Gu Siok. Berkilat-kilat mengandung intimidasi.

“Pangcu, kekacauan akibat pibu ini akan menjadi urusan istana!” tandas sang putri.

Gu Siok mencium ancaman. Hatinya agak gemetar, takut sekaligus geram. Sejak kapan pemilihan bengcu menjadi urusan istana?

Sementara, hati Gu Yun Ge serupa kucing yang ikannya dirampas kucing lain. Tadinya, seluruh kekaguman pria berpusat pada dirinya. Sekarang, perhatian semua mata direbut oleh putri itu. Untungnya, pemuda pujaannya yang berpakaian biru langit, tak melirik-lirik putri itu seujung rambut pun. Kenyataan ini membuatnya sedikit terhibur. Namun, tetap khawatir.

“Tuan putri!” Gadis ini berseru dengan suaranya yang lembut dan sejernih kecipak air. “Dunia jianghu telah memiliki sistem sendiri, tetapi bisa dipastikan, selalu berguna bagi kerajaan. Silakan Anda duduk bersama saya, menonton dari sini,” ajaknya ramah dan akrab.

Putri Ming Ji Li tersenyum hingga matanya melengkung serupa bulan sabit cantik. Ia tak menyadari jika senyumnya membuat napas sejumlah pendekar muda hampir putus, dan jantung mereka nyaris lompat.

“Kau benar,” ucapnya setelah berpikir sebentar. Mendadak merasa bodoh. Mengapa ia mudah terpancing emosi? Sekarang, semuanya sudah telanjur basah. Ia menangkap bayangan sosok Jenderal Tan Hwi telah maju ke barisan depan.

Aku harus mencari cara untuk kabur. Gadis ini membatin, mulai memutar otak.

Tepat pada saat Ming Ji Li melompat turun, salah seorang calon bengcu, Liu Ceng Kiam, tanpa ba bi bu, langsung mengayunkan pedangnya ke arah Cin Lee. Dan ini menandai dimulainya pertarungan.

Trangg!!

Tanpa terlihat mata saking cepatnya, Cin Lee menarik pedang dari sarungnya, lalu menangkis serangan tersebut. Liu Ceng Kiam terjajar mundur. Api kemarahan kian tersulut di dadanya.

“Tahan!” bentak Yong San-locianpwee. “Calon bengcu yang tak pandai menguasai emosi, mana layak memimpin orang banyak?!”

“Kita dibesarkan dengan pedang, dan terbiasa menghirup udara kematian! Maka ketinggian ilmu silat adalah ukuran!” teriak Liu Ceng Kiam.

“Begini saja!” seru Gu Siok dengan suara menggeledek. “Hadapi kami semua, para calon bengcu, satu lawan satu! Jika kau berhasil menang, maka mulai saat ini, pibu pemilihan bengcu akan dihapuskan! Dan kau ...,” Ia menudingkan tongkat bajanya lurus-lurus ke depan Cin Lee. “Kami daulat sebagai bengcu periode ini dan berhak memutuskan cara terbaik menurutmu untuk memilih bengcu periode berikutnya! Bagaimana? Kau berani menerima tantangan kami?!”

Cin Lee jadi serba salah. Jika ditolak, ia akan dianggap pengecut. Namun bila diterima, ia sama sekali tidak menginginkan posisi bengcu. Bahkan terlintas di benak pun tidak.

“Ayo, jawab! Jangan beraninya ngomong saja! Kau sudah berani menentang kami, berarti harus menandingi kami!” bentak Liu Ceng Kiam yang sudah cemburu buta.

“Baiklah kalau kalian memaksa! Saya terima tantangan kalian, tapi bukan untuk mengejar posisi bengcu! Bila menang, maka kita semua harus sepakat untuk memilih pemimpin yang memenuhi semua syarat kepemimpinan, bukan sekedar lihai ilmu silat!” jawab Cin Lee dengan sinar mata mencorong.

“Terserah!” dengus Gu Siok yang kadung emosi. Dia memutar tongkatnya dan berteriak. “Hadapi aku lebih dulu! Aku akan memastikan mentalmu sama dengan ayahmu!”

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang