Tatkala semburat putih dini hari mulai terlukis di langit timur, Ming Ji Li perlahan siuman dari pingsannya. Tetapi belum sadar penuh. Kepalanya masih pusing, perutnya mual dan pikirannya mengawang-awang. Ia memilih pejamkan mata dan pasrah saja.
Pantai bersalju telah jauh mereka tinggalkan. Mereka juga telah merambah hutan, melewati sungai dan melintasi beberapa perkampungan.
Menjelang fajar merekah, Cin Lee menghentikan larinya di depan gerbang sebuah kota bertuliskan Lok Yang. Ia mengatur nafas sebentar. Kemudian memperhatikan si gadis yang sudah pucat pasi. Tangan gadis itu juga terasa dingin sekali. Napasnya tersengal-sengal. Mulutnya terkatup rapat dan pipinya agak menggembung seperti menahan sesuatu.
Saat Cin Lee menurunkan tubuhnya, gadis itu langsung memutar tubuh membelakangi sambil membungkuk. Muntah.
Sang Pendekar Kelana tertegun. Terbit iba di hatinya menyaksikan seorang gadis termuntah-muntah. Berbarengan dengan jengkel karena tiba-tiba merasa direpotkan. Sebenarnya ia tahu cara untuk mengurangi keluhan muntah. Ada beberapa titik persyarafan yang bisa dipijat di sekitar tengkuk dan pundak. Tapi kalau ia nekat menolong dengan cara itu, akibatnya bisa gawat. Ia tak mau menanggung resiko digampar lagi.
Ming Ji Li memuntahkan seluruh isi perutnya sampai lututnya lemas. Tubuhnya terjongkok. Tampak sangat menderita.
Cin Lee menarik nafas panjang. Lalu mengembuskannya pelan untuk melepaskan rasa berat hati. Gelengkan kepala. Terpaksa menempelkan sepasang telapak tangannya di punggung gadis remaja itu untuk mengurangi penderitaannya. Energi panas pun mengalir menghangatkan tubuh dingin Ming Ji Li, sekaligus memulihkan kekuatannya.
Gadis itu tak menolak. Muntahnya mereda dan ia merasa jauh lebih nyaman. Setelah Cin Lee melepaskan tangan, ia bangkit pelan-pelan.
"Sebenarnya, saya tak membutuhkan bantuan Anda." Bukannya berterimakasih, malah kalimat angkuh ini yang pertamakali keluar dari mulutnya.
Gak Cin Lee terkesima sesaat. Cahaya lemah matahari musim dingin, membias di wajah pucat kekanak-kanakan yang sangat menakjubkan. Membuat seseorang ingin mendekat untuk memberikan perlindungan. Pemuda itu ber-istighfar dalam hati dan segera menangkis serangan getaran rasa itu dengan memalingkan pandangan.
"Ternyata kau adalah Ming Ji Li, putri kaisar!" ucapnya tanpa rasa hormat, dan tak mempedulikan kesombongan gadis itu. Tangannya menunjuk ke dinding tembok yang memagari kota.
Pada dinding itu terpampang poster berisi lukisan wajah jelita Putri Ming Ji Li dengan tulisan berisi keterangan, bahwa bagi siapa saja yang berhasil menemukan tuan putri, maka akan dianugerahi hadiah uang sebesar sepuluh ribu tail emas dan hadiah lainnya dari Kaisar Ming Thai Zhu. Itu bukan jumlah yang sedikit.
Putri Ming Ji Li terkesiap. Memperhatikan poster tersebut sejenak.
Gak Cin Lee memberi isyarat dengan lambaian tangan agar mengikuti langkahnya.
"Mari kita istirahat dulu di rumah kenalanku di kota ini. Paman Gu San, pedagang di pasar Lok Yang. Semoga beliau masih ingat padaku," ajaknya.
"Tunggu dulu!" Sang putri merandek. Ragu. Tiba-tiba teringat pengalaman pahit beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan. Mulanya ia menaruh kepercayaan, karena Cin Lee telah menyelamatkannya dari gangguan orang-orang Hek-i-pang. Namun setelah kejadian memalukan itu, bagaimana ia bisa sepolos ini membiarkan Cin Lee membawanya? Di balik paras yang sangat tampan dan terlihat menjaga jarak itu, tak menutup kemungkinan pemuda ini mengambil bagian dalam konspirasi. Apalagi ia tak mengetahui sama sekali latar belakang pemuda itu, bahkan tak tahu namanya. Atau boleh jadi, pemuda itu silau akan hadiah yang dijanjikan kaisar.
"Apakah ...," gumam sang dara, dengan tatapan menuduh, "Anda tertarik dengan hadiah itu?"
Terasa ada yang terbakar di dada Cin Lee.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...