Menjelang fajar, setelah beristirahat cukup, Cin Lee berhasil mengumpulkan kekuatan, meski belum sempurna menyembuhkan luka dalamnya. Perdarahan pada lukanya sudah lama berhenti.
Ia keluar lebih dulu untuk melihat-lihat keadaan. Langit masih ungu tatkala ia melihat asap putih membubung tinggi disertai jilatan api. Arahnya berasal dari Bukit Sunyi yang barusan mereka tinggalkan tadi malam.
Entah apa yang terjadi dengan markas Hek-i-pang di Bukit Sunyi tengah malam tadi. Mungkin ada hubungannya dengan pasukan yang melewati gua mereka semalam.
Cin Lee menunda pemikirannya. Lalu membangunkan Ming Ji Li. Mengajaknya keluar gua dengan hati-hati. Mencari sungai dan sama-sama membersihkan tubuh di tempat yang berbeda.
"Kau bisa sholat?"
"Bi-bisa ..., tapi jarang," sahut si gadis sambil menunduk. Pipi bersemu malu.
Cin Lee menggerakan lengannya. Dalam waktu singkat, selendang yang melekat di pakaian Ming Ji Li terenggut lepas.
“Pakai ini!” Selendang tersebut diulurkan ke depan.
Sang putri menatap kebingungan.“Seorang gadis muslim itu diperintahkan Allah untuk menutupi seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. Sebenarnya tidak hanya di waktu sholat. Melainkan juga di luar sholat.”
“Oh ...,” Ming Ji Li tersadar, menyambut helaian selendang itu, agak ragu. “Saya hanya mendapat penjelasan tentang pakaian wanita untuk sholat.”
“Aisha dan wanita-wanita Uighur selalu mengenakan kerudung.”
“Siapa Aisha?”
”Seorang gadis, yang andai aku bisa memilih di antara dirinya dan dirimu, maka aku akan memilih dirinya,” jawab Cin Lee polos dan spontan, sambil membayangkan perilaku Aisha yang lemah lembut, rendah hati dan taat beribadah.
Sang dara diam, berusaha mendinginkan api yang tiba-tiba membakar dadanya.
“Ia cucu guruku, dari Uighuristan,” jelas Cin Lee tanpa ekspresi.
“Saya jadi ingin bertemu dengannya,” tanggap Ming Ji Li agak senewen.
“Bagus sekali. Kau bisa belajar makna dewasa padanya,” sahut Cin Lee, tidak peka.
Ming Ji Li semakin panas. Namun, kalimat emosinya ditelannya kembali karena Cin Lee memberi isyarat agar ia memasang kain itu ke kepala, membentuk kerudung.
Gadis itu menutupkan selendang penghias pakaian pengantin itu ke rambutnya. Wajah putih beningnya merona risih.
Subuh ini terasa syahdu.
Ji Li agak kaku mengikuti gerakan Cin Lee. Ibu memang mengajarkannya tata cara ibadah, namun ia terlalu nakal untuk rutin menjalankan. Untung tak lupa lafaz yang harus dibaca. Jantungnya berdegup tegang. Ini pertamakalinya ia sembahyang di belakang seorang lelaki yang disebut suami. Alangkah canggungnya.Usai khusuk berdoa, Cin Lee tercenung sendiri. Menyelami nasibnya. Ia telah menemukan istrinya. Lalu, setelah ini apa? Apa yang harus ia lakukan? Pemuda ini menghela napas panjang. Menyadari statusnya sekarang, sungguh membuat gundah.
Putri Ming Ji Li, sama sekali bukanlah sosok istri yang ia dambakan. Apa yang bisa ia harapkan dari seorang istri yang kekanak-kanakan?
Kecantikan? Gadis itu memang luar biasa cantik. Namun, kecantikan itu akan memudar seiring waktu.
Kedudukan? Oh, Putri Ming Ji Li adalah si putri bintang, kebanggaan Kaisar Kerajaan Ming yang sangat berkuasa. Tapi apa gunanya kedudukan tinggi, jika tak becus urusan rumahtangga? Jangan-jangan ujung-ujungnya nanti jadi angkuh dan sok kuasa menindas suami. Padahal Cin Lee paling tak sudi direndahkan oleh kedudukan.

KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...