Pertempuran tak seimbang pun berlangsung dahsyat. Cin Lee benar-benar menunjukkan kesaktian mumpuni.
Diam-diam hati Putri Ming Ji Li mendesir kagum. Meski sering menonton kakak-kakaknya berlatih tanding di istana, itu tak sehebat pertempuran saat ini.
Musuh-musuh berbaju hitam roboh tersungkur satu demi satu. Pedang mereka sudah lama terpukul lepas dari genggaman. Cin Lee berhasil melumpuhkan mereka semua tanpa membunuhnya.
“Siapa kalian? Dan yang mana pemimpin kalian?” selidik Cin Lee.
“Kami dari Hek-i-pang. Ketua kami, Can Seng, ada di markas pusat.” Salah seorang di antara mereka mengakui dengan cepat sambil sesekali mengaduh.
“Di mana letak markas kalian?!”
“Di .. di pantai karang sebelah utara ... “ Orang itu dengan takut-takut mengarahkan telunjuknya ke satu arah.
“Apakah kerja kalian ini bisanya cuma mengganggu perempuan?”
“Ini perintah ketua. Gadis ini ingin kami culik untuk dijadikan korban persembahan ritual.”
“Ahh, keji sekali!” Cin Lee berseru kaget.
“Ini sudah biasa dalam tradisi kami,” sahut orang itu polos.
Plakk! Bunyi tamparan menderu, menimpa pipi orang itu. Putri Ming Ji Li mengibaskan tangan kanannya yang pedas setelah melepaskan kegusarannya dengan menampar.
“Berarti, kalian sudah sering menculik gadis-gadis sebelumnya?” selidik sang putri keras. “Kalian harus dihukum mati!”
“Tenang, Nona Cilik!” cegah Cin Lee. “Mereka hanya anak buah,” terang Cin Lee pada gadis imut itu. “Kita harus menangkap pimpinannya. Menyuruhnya bertobat, dan menyeretnya ke pengadilan. Jangan main hakim sendiri. Membunuh orang hanya jika terpaksa karena nyawa kita terancam dalam pertempuran.”
Putri Ming Ji Li bersungut-sungut. Bibir mungilnya digigit. Alis berkerut. Curiga.
“Mereka pasti bohong! Mereka menculik saya bukan karena itu!” serunya gemas. Teringat penderitaannya selama tiga hari di penjara gelap. “Saya harus tahu motif sebenarnya dan siapa yang menyuruh mereka!”
Gak Cin Lee mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia enggan sekali terlibat masalah. Ia baru saja tiba di selatan, dan rasanya ingin istirahat dulu sambil berpikir apakah ia akan ke kota raja menemui kakek dan nenek yang tujuh belas tahun tak dilihatnya. Ataukah kembali ke Uighuristan untuk berkonsultasi masalah kelainan pada dirinya yang tak kunjung sembuh.
Lagipula, dua tahun bergelut dengan konflik jianghu di daerah Barat, cukup melelahkan dan mengotori batinnya. Ia benar-benar butuh rehat.
Akan tetapi, melihat tekad gadis kecil mungil ini, sungguh membuatnya kesal pada diri sendiri. Kesal karena tak mampu menepis naluri kemanusiaan. Meskipun gadis muda itu tidak minta tolong, jelas tak mungkin Cin Lee membiarkannya sendirian.
“Biar saya yang menyelidiki,” gumamnya pendek, lalu berkelebat mengirim beberapa totokan ke tubuh orang-orang baju hitam yang bergelimpangan di tanah. Mereka tak berdaya lagi melawan, karena semua urat tulang telah dilumpuhkan Cin Lee, sehingga tak memiliki kesaktian lagi.
“Salah seorang dari kalian harus mengantarku pada pimpinan kalian!” ucapnya dengan aura dominan.
Tatapannya kemudian beralih sekejap pada gadis mungil di sisinya, sebelum dipalingkan ke pasir di bawah kakinya.
“Di mana rumahmu?”
“Kota raja!” Putri Ming Ji Li menjawab cepat dan penuh harap. Pulang. Ia ingin segera pulang. Tubuhnya sudah sangat kedinginan dan mulai menggigil. “Saya harus segera melaporkan ini pada ayah!”
“Kota raja?” Sepasang alis Cin Lee mengerut. Mau tak mau memperhatikan pakaian gadis muda di depannya. Meskipun kotor sekali, tapi jelas terbuat dari bahan halus dengan model yang berbeda dengan gadis kebanyakan. “Kau putri bangsawan?” tebaknya, agak sinis.
Putri Ming Ji Li ingin mengangguk. Namun, tatapan sedingin salju dari pemuda itu membuatnya kurang nyaman. Sejenak ia ragu untuk mengungkapkan identitasnya. Ia tidak mengenal orang ini. Menurut ibunya, jauh lebih mudah menebak arah mata angin ketimbang membaca sikap orang-orang jianghu. Ibunya juga sering berpesan agar tidak mudah terbuka kepada orang asing. Sebab jika orang berniat jahat, bisa saja ia diculik lagi untuk menekan keluarga kekaisaran.
Akan tetapi, tampaknya Cin Lee tak perlu jawaban. Sesungguhnya, tak peduli siapa dan apa, ketika ia terlanjur turun tangan terhadap satu masalah, maka ia akan menyelesaikannya sampai tuntas. Ia tak merasa perlu mengetahui identitas orang yang dibantunya. Apalagi jika yang ditolong itu adalah seorang gadis.
Hanya saja, kenyataan bahwa gadis ini berasal dari keluarga bangsawan di kota raja--yang letaknya sangat jauh dari tempat ini--seperti duri yang tersangkut di tenggorokannya.
Pertama, karena ia tak menyukai keluarga bangsawan, meskipun dalam darahnya sendiri mengalir darah bangsawan. Keluhan ayahnya akan hipokritas dunia bangsawan, terlanjur mengakar di hati. Sehingga sedapat mungkin Cin Lee menghindari berurusan dengan kelompok elite tersebut.
Kedua, yang ia selamatkan adalah seorang gadis. Jenis manusia yang paling enggan ia dekati. Betapa sangat tidak menyenangkan jika ia harus mengantar seorang gadis ke daerah yang jauh! Membayangkannya saja ia sudah mual. Pertentangan batin ini bukan hanya bersumber dari nilai yang ia yakini, bahwa terlarang untuk berdua-duaan dengan seorang wanita. Akan tetapi, juga karena perasaannya sendiri dari dulu memang sudah tidak suka.
Pemuda itu memutar otak. Namun selalu kembali ke muara yang sama. Bahwa mau tidak mau, gadis muda yang selemah anak kucing baru lahir ini, tidak bisa tidak dibantu dan mesti diantar pulang.
Akhirnya dengan perasaan tak menentu, Gak Cin Lee memberi isyarat pada nona mungil itu agar mengikuti langkahnya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh pekikan bercampur raungan kesakitan.
Betapa terperanjatnya ia saat menemukan orang-orang yang barusan dilumpuhkannya mendadak berkelojotan kesakitan. Dalam hitungan detik, kepala mereka terkulai tewas dengan wajah kehitaman.
“Jarum beracun!” Pemuda itu mendesis geram. Tatapannya langsung dilempar waspada, memindai sekelilingnya. Namun, hanya mendapati kehampaan. Tak terlihat tanda-tanda si penyerang gelap.
Putri Ming Ji Li tersentak. Seumur hidupnya, putri kesayangan kaisar ini hanya berhadapan dengan kelembutan dan kehalusan. Tak ayal lagi, ia pun syok menyaksikan kekerasan dan kematian terlalu banyak. Tubuh lemahnya tak sanggup menanggung kejutan pada jantung. Pandangannya jadi berkunang-kunang dan perutnya bergolak. Gadis ini merasa mual, dan perlahan penglihatannya gelap. Ia pun terjungkal roboh tak sadarkan diri.
Cin Lee refleks mencelat untuk menyambut tubuh mungil itu agar tak terhempas keras ke bawah.
“Menyusahkan,” gerutunya, jengkel.
Tubuh gadis itu sangat dingin. Diterangi cahaya rembulan, Cin Lee menangkap bayangan pucat di wajah imut. Ia meraba nadi. Sangat lemah. Napas gadis itu pun lambat sekali. Ia bisa mendeteksi kalau gadis ini tak mampu bela diri.
Terpaksalah Cin Lee melawan rasa enggan. Segera menempelkan tangan kanannya ke atas dada gadis itu. Sedangkan tangan kirinya menyangga leher dan kepala. Mulailah ia menyalurkan hawa murni lewat tangan kanan untuk menghangatkan tubuh gadis itu.
Tak berapa lama, wajah imut itu berangsur-angsur kemerahan. Pernafasan dan denyut nadi mulai normal. Setelah Cin Lee menekan beberapa titik kesadaran di tengkuknya, sang dara berangsur-angsur siuman.
Cin Lee menghentikan terapinya. Hatinya dongkol menyadari kondisinya saat ini. Menyebalkan sekali. Sekarang ia terpaksa terlalu dekat dengan seorang gadis.

KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historische fictieSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...