Beberapa hari kemudian, siang itu di ruangan penjara kerajaan Ming, Cin Lee menerima kedatangan kakeknya.
“Kong-kong....” Kristal bening menggantung di pelupuk mata Gak Cin Lee saat melihat sosok Jenderal Gak Bun di depan jeruji besi.
"Cin Lee,” panggil sang kakek antusias, “kau bebas hari ini, Nak. Sudah terbukti, kau tidak terlibat sama sekali dengan gerombolan Hek-i-pang, dan kau juga terbukti bersih dari fitnah keji itu.”
Gak Bun meneteskan airmata haru saat memperhatikan kondisi cucunya. Wajah yang sangat tampan itu tampak berdebu. Pakaiannya kotor dan compang-camping. Tubuh lebih kurus setelah berminggu-minggu di penjara.
“Tapi kudengar, aku akan dihukum mati.”
“Tidak, Cin Lee. Kaisar berubah pikiran.” Gak Bun memeluk cucunya dengan penuh kelegaan dan kerinduan.
Cin Lee tercenung. Ini di luar dugaan. Betapa hukum di tangan manusia dipenuhi ketidakpastian. Desis hatinya.
"Siang malam aku dan nenekmu memikirkanmu, Nak. Tak terkatakan betapa bahagianya melihat kau masih hidup. Yingjun kami yang lincah. Kini telah tumbuh dewasa. Nanti ceritakan, bagaimana ayahmu mengurusmu."
"Ayah mengurusku dengan baik," Cin Lee mengusap airmata. Menekan kedukaan saat teringat ayahnya. Kenangan tentang ayah pun datang menyergap. "Kuburannya di Pulau Yingjun. Ayah sudah tenang di sana."
Gak Bun mengangguk-angguk. Menghela nafas dalam.
"Dia mendahuluiku,” gumamnya, berduka. “Ceritakan lebih banyak lagi tentangmu setelah kita pulang ke rumah."
Pulang ke rumah. Dua kata yang membuat dadanya mendesir. Rumah kakeknya. Rumah yang menyimpan tragedi. Mata bagus Cin Lee memerah. Trauma. Peristiwa tragis pernah berlangsung di rumah itu. Ia hampir tak sanggup "pulang ke rumah”.
"Sekarang, mari menghadap kaisar. Beliau ingin bertemu denganmu."
Gak Cin Lee menurut, mengiringi langkah kakeknya untuk menghadap Kaisar Ming Thai Zhu.
Ia berlutut di hadapan sang kaisar sesuai tradisi yang berlaku. Mendengarkan kalimat yang akan disampaikan penguasa Dinasti Ming itu tanpa secuil pun rasa gentar. Wajahnya tetap tenang. Percaya diri. Tak nampak gugup. Sebuah sikap yang cukup menarik perhatian Kaisar Ming Thai Zhu.
"Anak muda!” kata Hongwu keren sembari maju dua langkah. Tertegun mendapati cahaya pada wajah di depannya, walau dilapisi debu penjara. Ia juga menyaksikan sepasang mata hitam dengan kilatan tajam. Menandakan kecerdasan, ketinggian ilmu silat dan kekuatan tekad. Paras pemuda ini juga sangat menawan, nyaris mendekati kecantikan wanita.
Seandainya postur tubuhnya tidak atletis dan kokoh, mungkin ia bisa disangka perempuan yang menyamar jadi lelaki. Pancaran wibawanya serupa tampilan seorang jenderal besar.
Hongwu diam-diam memuji dalam hati. Pemuda ini benar-benar cetakan kakeknya, Jenderal Gak Bun.
Hongwu berusaha mencari-cari ciri-ciri kelainan mental. Entah dari sorot mata, tarikan bibir atau sikap tubuh. Tapi tak menemukan. Setitik waswas pun terusir. Berarti berita dari informannya benar.
Ia memang telah lebih dahulu mengirim satu detasemen intelijen untuk menyelidiki latar belakang pemuda ini, hingga ke Uighuristan. Informasi yang didapat, cukup akurat dan memuaskan. Ia tinggal meyakinkan diri dengan mengamati sosok pemuda itu secara langsung.
“Bukti-bukti menunjukkan bahwa kau tak bersalah. Tak terlibat sedikit pun dengan konspirasi Hek-i-pang dan Pek-i-kaipang. Tapi zhen masih penasaran dengan motif hebat mereka, ingin mencemarkan nama baik istana sekaligus nama baik kakekmu. Entah apa tujuan mereka. Pasti ada dalang di baliknya. Agaknya ada pihak yang bermaksud merongrong kekuasaan keluarga istana. Penyelidikan akan terus dilangsungkan untuk membongkar habis hingga ke akarnya!”
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
HistoryczneSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...