Waktu terpilin, kembali ke masa setahun yang lalu.
Tatkala Putri Ming Ji Li dilarikan orang di depan matanya, Cin Lee hanya mampu memandang tanpa daya. Ia bangkit perlahan sambil menghunus pedangnya.
“Saat terluka parah pun masih terlihat sangat tampan. Ah, sayang sekali, harus mati sekarang.” Dewi Kipas tersenyum menyayangkan dengan mata menjelajah liar sekujur tubuh Gak Cin Lee. Jemarinya kemudian memberi isyarat pada empat orang anak buahnya dari jianghu.
Banjir serangan pun menghantam Cin Lee tanpa ampun. Pedangnya terpental. Satu bacokan membabat silang, persis di lokasi lukanya terdahulu. Bagian dada, dari ujung kiri atas ke ujung kanan bawah. Darahnya muncrat. Mengucur deras. Membanjiri seluruh pakaiannya.
Cin Lee terhuyung-huyung. Berusaha bertahan. Akan tetapi, luka-lukanya terus mengeluarkan darah segar. Ia semakin lemah. Gerakannya melambat.
Satu gerakan pedang lawan mendesing, nyaris membabat pinggang. Beruntung Cin Lee masih sempat mengayun langkah mundur.
Pedang itu menyambar kantong kecil yang tergantung di sabuknya. Kantong terhempas dan terburai isinya. Seuntai kalung dengan liontin giok merah bening, terlempar jatuh. Berkilauan indah karena pantulan sinar matahari.
Pandangan Cin Lee mulai mengabur dan tubuhnya limbung. Tepat pada saat itu, mendadak dua bayangan putih berkelebat. Satu orang menyambar tubuhnya. Dan yang lain membangun badai serangan energi untuk menerobos kerumunan.
“Kejar!”
“Tangkap!”
“Bunuh!”
Teriakan terdengar bersahut-sahutan disusul gelombang kejaran ke arah dua sosok berbaju putih yang membawa kabur Gak Cin Lee.
Meskipun gerakan dua sosok tersebut sangat lincah, namun orang-orang jianghu di pihak Jenderal Lan Feng bukan tokoh sembarangan. Dua sosok penyelamat Cin Lee hampir saja tersusul kalau tak terdengar suara gemuruh derap kaki kuda yang berasal dari arah berlawanan.
“Kalian sudah terkepung! Menyerahlah!!” Suara mengguntur dengan kekuatan khikang, menggetarkan dada para pengeroyok Cin Lee. Disusul kemunculan ratusan prajurit berkuda dengan seragam pasukan elit kerajaan.
Beberapa tokoh sesat jianghu menjadi ragu.
Dewi Kipas menggeretakkan giginya.
“Bagaimana ini?” Anak buahnya bertanya.
“Umumkan bahwa kita telah berhasil membunuhnya! Sementara itu, terus kirim orang-orang untuk melacak keberadaan Gak Cin Lee!” Dewi Kipas menutup kipasnya dengan kasar. Ia harus menutupi kegagalan ini demi kredibilitas di hadapan Jenderal Lan Feng dan Lan Yu.
Pasukan militer Jenderal Lan Feng sempat kacau karena pimpinan mereka tak berada di tempat. Para tokoh sesat jianghu terkejut. Mereka tak mau ikut campur lebih jauh dan ingin cari aman sendiri. Lalu masing-masing berlari meninggalkan kawasan tersebut.
Pasukan yang semula mengeroyok Cin Lee, secara refleks melakukan perlawanan. Pertempuran pun tak terelakkan. Akan tetapi yang mereka hadapi adalah pasukan elit. Dalam waktu singkat, mereka terdesak.
Jenderal Lan Feng yang gagal mengejar penculik Putri Ming Ji Li, tiba-tiba kembali. Ia terkejut menyaksikan perubahan situasi. Lalu sigap memberi perintah untuk mengibarkan bendera putih tanda perdamaian.
“Chang Yi! Hentikan pertempuran! Kita orang sendiri! Musuh kita sama!”
Jenderal Chang Yi dari pihak pasukan elit, menarik tali kekang kudanya. Lalu berteriak memberikan perintah menghentikan serangan.“Lan Feng! Sadarkah yang kalian lakukan? Kalian menyerang suami Putri Ming Ji Li!” bentaknya tegas.
“Kaisar sendiri yang memerintahkan kami!” Lan Feng menunjukkan surat perintah dengan penuh percaya diri. “Jika kalian menolaknya, maka sama saja menantang kaisar!”

KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...