Cin Lee membuka matanya perlahan. Siuman. Sekejap silau. Kepalanya terasa berat. Namun, dipaksanya tegak. Ia pejamkan mata sekali lagi untuk menyesuaikan diri dengan suasana terang dalam ruangan yang diterangi berpuluh-puluh lampion.
Pemuda ini lalu mengerjapkan mata beberapa kali. Saat ingin bergerak, kaki dan tangannya ternyata terbelenggu kain sutra yang alot.
Bola mata hitamnya berputar mengamati sekeliling ruangan tersebut. Marmer putih melapisi dinding, lantai dan ruangan tersebut. Berkilau memantulkan cahaya lampion.
Di tengah-tengah ruangan tampak sebuah altar. Seorang gadis tergeletak di atasnya. Entah siapa gadis itu, ia tak bisa memperhatikannya dengan jelas, karena posisinya yang terduduk di lantai. Akan tetapi, rasa waswas menghampiri dadanya. Jangan-jangan gadis itu adalah Putri Ming Ji Li?
Pikiran tersebut membuat jantung Cin Lee seolah membeku. Sekujur tubuhnya dingin. Namun, ia tak ingin buang waktu. Cepat salurkan tenaga untuk memunahkan totokan yang kembali mengunci gerakannya.
"Kian Bu-Koko." Satu sapaan mesra, mengalun di sisi telinga kanannya. Lalu, wajah pucat seorang gadis memenuhi penglihatannya.
Cin Lee tegakkan kepalanya. Hatinya mulai membara. Namun, kepalanya sibuk mencari akal agar gadis muka pucat itu membebaskannya. Sementara itu, energinya terus bekerja memulihkan pengaruh totokan.
"Aku bukan Kian Bu," balasnya, dingin.
"Tak usah berpura-pura lagi, Koko. Banyak pendekar yang datang kemari untuk menyelidiki tempat ini. Setelah bertemu denganku, niat mereka berubah. Mereka mengelabuiku dengan mengaku sebagai Kian Bu untuk memanfaatkan diriku. Apalagi setelah melihat harta karunku yang berlimpah. Aku benci. Aku tak suka. Seketika aku tahu, mereka bukan Kian Bu!" Sorot mata Kiok Bi berapi-api. "Jadi kubunuh mereka semua!"
Cin Lee bergidik. Gadis ini agaknya sudah miring otaknya. Batinnya waswas.
Totokan yang mengunci tubuhnya berhasil dibuyarkan. Ia menegakkan punggung. Meninggikan leher dan menekan lutut, setengah berdiri untuk menjenguk ke arah altar. Berusaha mengenali gadis yang terbaring di sana.
Sekilas tatapan sudah cukup baginya untuk memastikan bahwa gadis itu benar-benar putri kaisar yang sedang dicari-carinya. Hatinya menjadi resah. Mencium gelagat yang tidak beres.
Mata Kiok Bi tersaput kaca. Ia tak memperhatikan gerak gerik Cin Lee. Tampaknya galau dengan pikiran sendiri.
"Jadilah Kian Bu untukku," bisiknya setengah meratap.
Cin Lee kembali ke posisi semula. Tertegun mendengar ratapan Kiok Bi. Berarti gadis itu sadar kalau dirinya bukan Kian Bu.
"Bu-Koko tak pernah mencintaiku," ratap Kiok Bi, memilukan. "Meski bersahabat sejak kecil, aku tahu Bu-koko tak mencintaiku. Tapi aku mencintainya sampai ke tulang sumsumku."
Si gadis bermuka pucat, lalu duduk di hadapan Cin Lee. Matanya lekat memandangi wajah pemuda itu. Bersinar bahagia.
"Pertamakali melihatmu di atas panggung pibu gunung Thai-san, aku langsung terpesona. Aah, suka sekali memandangi wajahmu. Kau jauh lebih menarik dari Kian Bu."
Cin Lee menyembunyikan rasa muaknya akan sanjungan gadis itu. Akhirnya ia tahu, Kiok Bi adalah orang yang memukul belakang kepalanya di lereng gunung Thian San waktu itu.
Kiok Bi pula yang melarikan Putri Ming Ji Li. Ia harus menyelidiki motif pembunuhan lain yang dilakukan Kiok Bi. Sekaligus ingin tahu, apa yang akan dilakukan si muka pucat ini terhadap Putri Ming Ji Li. Maka itu ia pura-pura bersikap lunak.
"Kiok Bi," katanya menyebut nama gadis itu. "Tempat apa ini?"
"Istana Kematian. Di tempat ini seluruh keluargaku tewas mengenaskan." Paras pucat itu berubah murung. "Aku tak suka membicarakan hal ini!" sentaknya tiba-tiba sambil berdiri. "Bu-Koko, menikahlah denganku. Aku berjanji tidak akan membunuhmu." Mata Kiok Bi bersinar penuh harap, suaranya terdengar memelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Fiksi SejarahSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...