Cin Lee siuman dengan kepala pusing dan nyeri di tengkuk belakang. Ia membuka mata. Menyadari belenggu di tangan dan kakinya telah terlepas.
Namun, ruangan yang semua dindingnya terbuat dari batu marmer itu terkunci rapat. Penerangan pun berkurang, tidak seperti tadi. Jadi remang-remang. Kali ini, entah kemana hilangnya lampion-lampion yang menerangi ruangan ini. Hanya sebatang lilin yang kelap-kelip membantu penglihatannya.
Setelah tersadar sempurna, ia segera teringat akan Ming Ji Li. Tubuhnya bergegas melesat menuju altar.
Tapi gadis itu tak berada di sana. Sebagai gantinya, terdengar suara pukulan keras berkali-kali.“Guru, Guru! Mengapa aku dikurung di sini? Apa salahku? Guru! Tolong keluarkan aku!” Jeritan bening memecah hening. Merdu laksana nyanyian angin. Berpadu dengan hantaman tinju mungil pada pintu baja.
“Tenanglah!” Cin Lee berseru.
Ming Ji Li berhenti seperti dibungkam begitu bayangan Cin Lee mendekat.
Mata biru gadis itu melebar. Indah. Bulu mata berkibar beberapa kali laksana kepakan sayap kupu-kupu yang terjerat. Siluet tubuhnya dalam remang-remang, memperlihatkan garis indah seorang gadis remaja yang telah mekar.“Kau di sini?” Gadis itu terkesima. Mundur selangkah. Menatap lekat seolah tak percaya.
Cin Lee agak bingung melihat Ji Li tiba-tiba menggeleng kuat dengan tangan memegangi kepala. Gadis itu seperti linglung. Terdengar denting benda jatuh saat jemarinya mencengkeram rambut. Mendadak tubuhnya terhuyung, limbung, hampir jatuh.
Sepasang tangan kuat, sigap menyangga tubuhnya. Ji Li meraih pinggang pemuda itu di luar sadarnya, untuk kembali pada keseimbangan.
Tubuh Cin Lee menegang. Aroma samar minyak kayu putih membelai hidung. Ia mendorong gadis itu. Tetapi akibatnya tubuh Ji Li membentur dinding.
Gadis itu memekik lirih. Belakang kepalanya mencium dinding marmer hingga terasa berdenyut nyeri. Ia limbung lagi, lalu ambruk ke lantai.
Cin Lee terpaksa membantunya berdiri. Ji Li bertumpu ke lengan pemuda itu.Dalam remang-remang ruangan yang hanya diterangi sebatang lilin, bayangan mereka seperti sepasang suami istri yang sedang bermesraan.
Ming Ji Li tak mengerti. Mengapa paras Cin Lee yang sudah tampan itu, sekarang terlihat makin menawan. Dua tahun tak bertemu, rasa-rasanya daya tarik pemuda itu bertambah berkali-kali lipat. Padahal ia yakin betul, tak memiliki perasaan setitik pun sebelumnya.
Jadi, mengapa sekarang berbeda? Mengapa jantungnya mendadak berdebar kencang? Lalu wajah ini memanas. Tidak hanya wajah, tapi juga leher, pundak, kaki dan seluruh bagian tubuh lainnya. Pelan-pelan juga mulai terasa gerah.
Pasti ada yang salah.Gadis itu memejamkan mata, menekan dorongan untuk merenggut pakaian yang dirasa sudah seperti terbakar.
“Cin Lee ... kau masih hidup.” Suara sang dara lirih mirip bisikan.
Cin Lee melepaskan pegangan, karena khawatir dengan perasaan asing yang mendadak muncul merambati jantung dan seluruh tubuhnya. Tetapi Ji Li kembali meraih tangannya seperti orang takut tenggelam.
Jarak mereka semakin dekat. Pandangan Cin Lee mau tak mau, dipenuhi paras secantik bunga dan bergelimang sinar bulan yang menyusup dari lubang-lubang di langit-langit ruangan.
Sebaliknya, mata jernih kebiruan Ming Ji Li memotret paras tampan sebeku es yang telah mematahkan hati berpuluh-puluh wanita itu. Bibir merah dengan gigi putih. Mata sehitam anggur yang berkilau-kilau penuh ancaman, tapi juga memabukkan.
Cin Lee belum pernah memandang wanita terlalu lama. Biasanya ia segera berpaling tak suka. Sekarang juga seperti itu. Akan tetapi, kala ia membuang muka, dua tangan Ming Ji Li menahan pipinya.
Sorot mata pemuda itu meruncing. Penuh aura berbahaya. Ming Ji Li malah mengurai senyum cantik sampai matanya melengkung sipit setipis bulan sabit.
“Hmm ....” Gadis itu menggumam. Kekaguman yang tidak biasa, mendorongnya mengelus pipi Cin Lee.
Pemuda itu merinding. Terjerat untuk sesaat. Belaian jemari selembut sutra pada pipi itu membangkitkan sensasi tersendiri. Sebelum ia sempat berpikir, tahu-tahu mukanya ditarik.
Cin Lee tertegun. Dunianya terasa jungkir balik. Gelisah. Tidak nyaman.
Selama ini ia tak ingin memandang Ji Li sebagai seorang wanita. Baginya, Ji Li hanya seorang gadis kecil. Tak peduli, bagaimanapun berkembangnya gadis itu.Akan tetapi, sentuhan itu mengirimkan rasa yang belum pernah dicecapnya. Membuatnya terpaksa mengubah pandangannya.
Perasaan apa ini?
Apakah gadis itu sadar akan perilaku anehnya ini? Bukankah Ji Li dulu membencinya? Benak Cin Lee didera kecamuk pertanyaan.
Ia tak suka sentuhan ini. Pikirannya sekarang cuma satu. Mencekik gadis itu sampai mati.
Aura membunuh mendominasi sekujur tubuh Cin Lee. Namun, ia berkeras menahan diri. Ingat posisi gadis ini. Putri penguasa Kerajaan Ming. Istrinya. Tanggungjawabnya. Seandainya tidak ada hubungan ini, gadis itu mungkin sekarang sudah tergeletak kehilangan nyawa.
Sekonyong-konyong, gadis itu melepaskan diri. Terhuyung mundur sambil menutupi bibirnya.
“Tidak benar ...” desisnya, di ujung sisa kesadaran.
Cin Lee segera mendeteksi ketidakwajaran.
“Aprodisiak?” gumamnya tak percaya. “Untuk apa?” Pemuda itu tak habis pikir akan motif Kiok Bi dan nenek Wan Ci. Ia maju, lalu mengirim tepukan yang cukup kuat untuk membikin pingsan Ming Ji Li.
Dalam sekejap, gadis itu menggelosoh ke lantai. Jatuh tak sadarkan diri.
✿✿✿
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...