Cin Lee membuka matanya. Untuk sesaat, penglihatannya masih kabur. Kepalanya terasa berat dan berputar. Nyeri menghantam sekujur tubuhnya ketika mencoba bergerak. Saat memutar kepala untuk bangkit, perutnya bergolak mual.
Tenggorokannya panas laksana disumbat sepotong bara. Ia terbatuk, seketika memuntahkan darah segar. Lalu meringis kesakitan. Dadanya tersengat nyeri.
“Suheng ..., syukurlah, akhirnya kau sadar!” Terdengar seruan pelan, disusul isak tangis.
Samar-samar, Cin Lee melihat bayangan Souw Lian.
“Jangan banyak bergerak, Cin Lee!”
Cin Lee mengenali suara gurunya, Kakek Yong San. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha memperjelas pandangannya. Sayup-sayup tertangkap suara-suara sedikit gaduh.
“Taihiap sudah sadar!”
“Oh, syukurlah! Yok-Sian, mohon periksalah kondisinya!”
“Ciauw Si! Cepat ambil air minum hangat untuk Gak-taihiap!”
“Ssst, jangan terlalu berisik!”
Cin Lee mendapati banyak orang di sekeliling tempat tidurnya. Sebagian dikenalnya. Ada Kakek Yong San, Souw Lian, suami istri Gu San, putri bungsu mereka Gu Ciauw Si dan si Dewa Obat Yok Sian.
“Cin Lee,” sapa Yong San lembut. “Kau pingsan selama berhari-hari. Kami semua sangat mencemaskanmu.”
Souw Lian menyeka darah di pinggir mulut Cin Lee dengan sehelai kain basah hangat. Airmatanya bergulir ke atas pipi. Sementara Ciauw Si membersihkan bekas-bekas muntahan darah di pinggir ranjang dan lantai.
“Kau mengalami luka dalam yang sangat parah. Luka-luka luarmu juga berbahaya. Perdarahan hebat akibat luka sayatan di dada, luka robek di lengan, dan luka tusuk di pundak dan paha. Satu tulang rusuk dada patah, tulang keringmu remuk.” Kakek berkepala botak menggambarkan kondisi Cin Lee sambil geleng-geleng kepala. “Sungguh menakjubkan. Kau masih bisa hidup dalam keadaan segawat ini.”
Cin Lee hanya tersenyum miris. Tenaganya serasa dilolosi. Tangannya begitu lunglai, tak bisa diangkat. Bahkan untuk bicara pun sangat lemah.
Ia melirik sekilas pada Souw Lian. Agak risih saat jari-jemari lentiknya membersihkan dan mengganti balutan pada luka di dadanya. Selintas terkenang saat Putri Ming membebat lukanya.
“Terima kasih,” gumamnya dengan suara serak. Lalu menoleh sedikit pada Yong San. “Shifu ..., teecu tidak mengerti motif mereka ...”
Yok Sian memberi isyarat pada Cin Lee untuk diam.
“Jangan banyak bicara dulu, Taihiap. Kau tak boleh mengeluarkan energi sedikit pun. Beresiko memperparah lukamu!” cegahnya serius.
Cin Lee mengangguk patuh.
”Tenanglah, Nak. Aku akan mencoba mencari kabar. Kau tak usah memikirkan apa-apa lagi. Konsentrasi saja pada proses pemulihan luka-lukamu,” kata Yong San sungguh-sungguh.
“Benar, Taihiap. Kami semua akan membantumu. Kalian semua, tinggal saja di sini. Aku akan menanggung semua kebutuhan kalian!” cetus Gu san, pedagang yang murah hati, si pemilik rumah.
Cin Lee merasa terharu sekali. Diam-diam mendo’akan Gu San dan semua orang yang ada di sini. Berjanji dalam hati, entah kapan, akan membalas kebaikan orang-orang ini.
Seminggu kemudian, Yong San berhasil mendapatkan kabar mengejutkan. Putri Ming Ji Li masih belum ditemukan. Dan ternyata yang menggempur Cin Lee waktu itu adalah pasukan istana di bawah komando Jenderal Lan feng. Mereka mengaku melakukannya atas perintah kaisar. Namun belakangan terbukti, kaisar tak pernah memerintahkan pembunuhan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Fiksi SejarahSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...