Tarian Sepasang Harimau

191 15 3
                                    

"Apa maksudmu?” Paras seimut boneka sedikit pucat.

“Tentu kau masih ingat apa yang kukatakan saat kita bertemu di taman istana.”
Ming Ji Li surut selangkah.

“Ayahanda akan menghukummu!” bentaknya.

“Atas tuduhan apa? Menculik istri sendiri?” Mata bagus Cin Lee berputar geli. Ia merasa mendapat mainan baru.

Seorang putri bangsawan yang masih kecil tapi sombong. Sudut hatinya tertantang untuk memberi pelajaran.

Paras molek memerah. Sepasang mata biru cerah memancarkan api. Belum pernah ada yang berani memperlakukannya seperti ini. Dadanya berdegup tegang campur berang.

“Tak ada yang bisa memaksa saya!”

“Betulkah?”

Putri Ming Ji Li tiba-tiba benci sekali. Ia menyesal setengah mati, mengapa dulu tidak merengek mati-matian pada ayah dan ibunya agar diajari ilmu silat.

“Lihat, apa kau bisa memaksaku?!” jeritnya dengan sepasang tangan mengepal teracung ke udara. Melupakan formalitas. Kali ini, ia betul-betul alpa kalau pemuda itu sering menolongnya. Tak ingat juga kalau barusan minta maaf.

Gadis itu melompat dengan gerakan indah. Ia menyadari kelemahannya yang tak menguasai ilmu bela diri.

Maka dari itu, Ji Li menggunakan gerakan apa saja yang ia kuasai. Termasuk gerakan yang sudah mendarah daging sejak kecil.

Cin Lee terperanjat ketika menyaksikan tubuh gadis remaja itu meliuk gemulai melakukan serangan. Gerakan itu adalah tarian yang pernah disaksikannya.

Ming Ji Li sebenarnya telah menarikan sebuah jurus tingkat tinggi, dari kitab ilmu silat Harimau Betina, pasangan kitab ilmu silat Harimau Jantan. Isi kedua kitab itu sudah dihapal Cin Lee semuanya di luar kepala.
Ibu gadis itu telah mengajari Ji Li dengan kesaktian tinggi yang dimodifikasi menjadi tarian. Apakah putri tidak sadar bahwa tariannya adalah gerakan silat sakti yang mampu menumbangkan seorang tokoh kelas atas di jianghu? Tubuhnya bahkan sangat lincah dan lemas seperti kain sutra.

Diam-diam Cin Lee mengagumi ketepatan gerakan Ji Li. Tenaga dalamnya saat ini belum sepenuhnya pulih. Stamina pun belum kembali seperti sediakala. Jadi, seandainya ia tak menguasai ilmu yang sama, tentu gadis itu sudah lama melumpuhkannya.

Ia meladeni tarian unik Ming Ji Li dengan hati berdebar gembira, karena merasa mendapatkan petunjuk.

Paduan gerakan sepasang muda-mudi ini, jika disaksikan orang-orang, akan nampak seperti tarian berpasangan yang membangkitkan kecemburuan. Laksana pasangan yang bukan berasal dari dunia fana. Melayang-layang di atas rumput hijau, diatapi langit biru dan mega putih, dengan keelokan yang membius mata.

Ming Ji Li, pada dasarnya, sangat suka menari. Awalnya, ia menari dengan maksud menyerang, penuh emosi.

Setiap liukan lengan, kaki dan tubuhnya mengandung tekanan kuat dan mantap. Akan tetapi, kemudian ia terkejut melihat Cin Lee membalas “tariannya” dengan gerakan senada.

Mereka bergerak teratur dan indah.
Selama ini, ia belum pernah menari berpasangan dengan pria. Pasangan tarinya adalah sepupu-sepupu perempuan atau putri pejabat, yang gerakannya tak menyamai levelnya, sehingga Ji Li sering tidak puas.

Sekarang, ada yang mampu menyamai levelnya. Emosi gadis itu pelan-pelan menguap, berganti dengan kesenangan. Tubuhnya menjadi lebih luwes, lemas dan penuh daya tarik, mengikuti perasaannya. Ia lupa kalau pasangan menarinya adalah laki-laki.

Cin Lee tertegun ketika menemukan perubahan pada ekspresi gadis itu. Kemana hilangnya emosi yang berapi-api tadi? Yang dilihatnya kini adalah mata biru yang melengkung serupa bulan sabit berpadu dengan senyuman cantik. Selendang sutra penutup rambut Ji Li melambai lembut mengikuti alur gerakannya.

Dada Cin Lee mendesir seketika. Kecantikan langka itu belum pernah disaksikannya sekali pun dalam mimpi. Tanpa sadar, ia membiarkan gadis itu menyerang dengan tarian lebih lama. Cin Lee persis orang yang tertelan racun perampas pikiran.

Akan tetapi, lama-lama nyeri dadanya kian menusuk, akibat terpancing bergerak terlalu banyak. Seteguk darah terkumpul di rongga mulut, lalu merembes pada dua sisi bibir. Konsentrasinya pecah dan gerakannya melambat.

Kondisi itu membuat tangan Ji Li yang gemulai dengan mudah menerobos pertahanan diri Cin Lee.

Bukk! Tangan yang mungil membentur dada. Sebenarnya tak seberapa jika Cin Lee dalam kondisi normal. Akan tetapi, pada keadaan luka dalam separah ini, pukulan seringan apapun akan berakibat fatal. Maka dapat dibayangkan apa yang terjadi.

Pemuda itu terdorong mundur seketika. Darah menyembur dari mulutnya sebelum tubuhnya terbanting jatuh.

“Ah?!” Ming Ji Li terpekik kaget. Tidak menduga akibat tindakannya. Ia terpaku bingung, panik.

Putaran waktu seakan terhenti.

Cin Lee mengerang lirih, menahan nyeri hebat. Ji Li menghambur ke depan. Refleks memangku kepala pemuda itu. Jantungnya mengerut menyaksikan wajah tampan pucat pasi dengan mulut berlumuran darah.

“Cin Lee, maafkan aku ... maafkan aku ... “ Ji Li berbisik-bisik panik. Di luar sadar, airmata penyesalan telah menggenangi pelupuk mata. Menetes-netes jatuh ke atas muka Cin Lee. Lengan kiri yang dipakai untuk menyangga leher pemuda itu gemetar. Tangan kanannya sibuk menyeka darah di pinggir-pinggir mulut Cin Lee dengan gerakan ragu dan takut-takut.

“Jangan mati ... jangan mati ...,” lirih gadis itu lagi dengan suara bergetar gugup. Terpukul oleh penyesalan hebat. Ia tak sungguh-sungguh ingin melukai pemuda itu.

Cin Lee memejamkan mata. Diam-diam menyesali kelemahan hatinya. Lalu berusaha tenang untuk meredakan nyeri dada. Fokus mengumpulkan energinya. Tak peduli posisi tak biasa saat ini. Posisi yang sangat dibenci jika kondisinya normal.

✿✿✿

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang