Memperjuangkan Sumber Air (5)

158 24 10
                                    

Gak Cin Lee langsung dibawa Kakek Yong San ke rumah tabib desa agar segera mendapatkan pertolongan.

Tabib desa bernama Jing Sing, tiada hentinya menggelengkan kepala, tatkala memeriksa keadaan pemuda itu.

“Sungguh luar biasa, tubuhnya mampu bertahan dari pukulan beracun mematikan. Beberapa pembuluh darah di organ dalamnya pecah, hingga mengalami perdarahan hebat di dalam,” ungkap si tabib sambil tangannya bekerja mengirim totokan di beberapa titik.

“Apa yang harus kita lakukan? Apakah Anda mampu mengobatinya?” tanya Kakek Yong San, cemas.

Sang tabib memasang tampang pesimis.

Souw Lian tersandar lemas ke dinding. Tanpa bisa ditahan, kristal bening meleleh ke permukaan pipi halusnya.

“Jadi bagaimana ....? Apakah kau bisa memberikan rekomendasi, siapa kira-kira yang bisa menyembuhkannya? Atau obat apa yang diperlukan ...?” desak Kakek Yong San.

“Mungkin Dewa Obat Yok Sian mampu mengobatinya.”

“Ah, ya, kau benar. Mengapa aku baru terpikir?” Kakek Yong San menepuk kepalanya. “Yok Sian itu sahabatku sendiri!” serunya dengan wajah berseri sesaat.

“Tapi ...” Jing Sing kelihatan suram. “Kondisi Gak-bengcu terlampau kritis, kita tak punya banyak waktu.”
Souw Lian terisak-isak.

“Kita memerlukan ginseng merah berumur seratus tahun untuk memperkuat daya tahannya. Sementara lukanya sendiri, diakibatkan oleh pukulan beracun dari jenis yang saya tidak paham. Ginseng merah hanya mampu menekan laju penyebaran racun itu ke otak.”

“Bagus. Berikan dia obat itu dulu, sementara aku pergi menjemput Yok Sian!” sambut Yong San antusias.

Tabib Jing Sing menggeleng lesu.

“Ginseng merah berumur seratus tahun itu bukan sembarang obat. Hanya dimiliki Kaisar Ming dan leluhur sekte Thai-san-pang.”

Hening menghunjam seketika. Seakan seisi ruangan disiram air dingin.
Mendadak kesunyian dipecah oleh satu teriakan jernih.

“Ginseng merah ada padaku!”

Sesosok ramping dalam balutan sutra merah muda, melompat melalui jendela.

Souw Lian bangkit dengan mata berapi.

“Kau?!” Tangannya terkepal. Siap mengirim serangan.

“Tahan emosimu, Lian!” bentak Yong San.

Yun Ge tegak dengan gaya angkuhnya. Menjebi sebentar pada Souw Lian. Lalu dengan cepat tatapannya beralih pada paras rupawan yang kini pucat pasi dan terbaring tak sadarkan diri.

“Cin Lee ....,” Ia mendesah, pilu. Langsung menubruk tubuh pemuda itu. “Aku akan menolongmu. Aku akan menolongmu ...” bisiknya dengan bulu mata mengerjap-ngerjap, meluruhkan airmata.

Putri Ketua Thai-san-pai ini mengeluarkan sebuah kantung kecil dari balik baju.

“Ini ginseng merah ... Biar aku yang membuat ramuan dan merawatnya.”

Tangan-tangan putih halus Yun Ge bergerak cekatan mengeluarkan ginseng merah, lalu menyambar alat-alat pembuat ramuan obat milik tabib Jing Sing.

Souw Lian hampir tak kuasa menekan perasaan cemburunya. Namun, Yong San cepat menarik lengan cucunya.

“Biarkan Nona Gu menjaga dan merawat Cin Lee di sini bersama tabib Jing. Tugas kita adalah mencari Dewa Obat!”

“Tapi, Kek ....,” Souw Lian cemberut.

“Pikirkan keselamatan suheng-mu!” tegur sang kakek.

Gadis itu tersadar. Wajahnya kembali resah. Kakeknya benar. Ia harus mendahulukan keselamatan kakak seperguruan yang dicintanya itu ketimbang bertarung dengan Yun Ge untuk melampiaskan cemburu.

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang