Genderang Perang

157 16 1
                                    

Fajar seperempat pagi, bersinar lembut. Menimpa bening embun di dedaunan tanaman dalam taman istana. Menghasilkan kilau menakjubkan bak butiran permata.

Taman istana itu tertata rapi. Dipenuhi tanaman-tanaman hijau yang berbunga elok warna-warni, menyegarkan mata. Akan tetapi, pagi itu, keindahan taman seolah pudar dikalahkan cahaya kecantikan seorang dara belia yang duduk santun di salah satu bangku.

Lusinan dayang berbaris rapi di belakang bangku dara itu. Seorang pemuda yang sangat tampan, berpakaian mewah, berdiri di hadapannya. Gerak-geriknya halus, tampak terpelajar. Sikapnya sopan, tak nampak kurang ajar, meskipun jelas-jelas pandang matanya menyiratkan kekaguman.

“Putri, saya sungguh bersyukur, berita itu ternyata tidak benar.”

Putri Ming Ji Li hanya mengangguk pelan.

“Usai acara penyambutan tadi, Yang Mulia Kaisar Ming menyatakan harapannya.”

Gadis itu bergeming. Pandangannya luruh ke kolam ikan di depannya. Sama sekali tak melirik Pangeran Kwee.

“Bagaimana menurut pendapatmu?” Sang pangeran bertanya, penuh harap.

“Pangeran,” Ming Ji Li akhirnya membuka mulut, setelah bungkam sekian menit.
“Fitnah jahat itu telah diembus angin ke seluruh penjuru .... Apakah Anda telah mempertimbangkannya? Bagaimana reaksi ayah Anda?”

“Saya tak peduli, Putri Ming. Bukankah itu tidak benar? Yang penting, saya yakin dirimu bersih.”

“Tapi, Pangeran, kita adalah tokoh istana yang menjadi sorotan publik.” Mata Ming Ji Li berkabut. “Sedikit banyaknya, kabar burung itu akan berpengaruh pada hubungan antar kerajaan. Nama saya sudah tercemar. Susah untuk meluruskan kabar yang telanjur tersebar luas. Jika kita menikah, Anda akan terkena imbasnya.”

Pangeran Kwee terdiam sesaat. Terombang-ambing ketidakpastian. Teringat sikap ayahnya yang sudah lama menyimpan dendam kesumat. Hanya karena tekanan politik, ayahnya mau menerima usulan perjodohan.

Berita yang santer itu cukup membuat ayahnya merasa terhina dan siap menghunus perlawanan. Kedatangannya hari ini sebenarnya adalah atas perintah ayahnya. Semata-mata untuk memastikan kebenaran kabar berita memalukan tersebut.

“Jika berita itu benar, maka itu berarti perang. Jika salah, maka batalkan pertunanganmu!”
Pesan sang ayah terngiang di benaknya. Sementara, hatinya telanjur jatuh cinta. Pertunangan sejak kecil hingga dewasa, lebih dari cukup untuk mengokohkan akar rasa.

“Tuan Putri, kita telah sama-sama dewasa. Tak ada penghalang lagi nampaknya untuk meresmikan ikatan di antara kita.” Kalimat Pangeran Kwee terkesan nekat.

“Anda tidak salah,” Putri Ming Ji Li menyahut hati-hati. “Tapi hati saya masih terpukul oleh kejadian ini. Belum mampu berpikir jernih.”

“Saya akan menunggu sampai Anda benar-benar tenang.”

Ming Ji Li tergetar haru. Kesabaran pangeran ini memang memukau hatinya dari dulu. Hanya pangeran ini yang ia izinkan bicara agak dekat dengannya. Praktis, Pangeran Kwee Siang adalah satu-satunya pemuda yang diakrabinya. Namun demikian, ia tak pernah mau berdua-duaan. Pertemuan mereka selalu didampingi lusinan dayang dan para pengawal kerajaan.

“Terus terang, sebenarnya saya belum siap,” ungkap Ming Ji Li, jujur.

“Putri, saya tak mendesakmu. Namun Kaisar Hongwu nampak mencemaskanmu.”

“Ayahanda selalu begitu.”

“Wajar saja. Anda ‘kan putri kesayangan beliau.” Pangeran Kwee tersenyum. “Eh, ngomong-ngomong, siapa pemuda itu?” tanya sang pangeran, sambil diam-diam berusaha menekan rasa tak enak yang menggores jantungnya.

“Tidak penting,” sahut Ming Ji Li, tak acuh.

“Kaisar bilang, dia akan dihukum mati. Baguslah,” ucap Pangeran Kwee, keceplosan.

Sepasang mata Ming Ji Li membulat.

“Bagus?” Alis matanya berjingkat naik.

“Ya. Saya sepakat dengan keputusan Kaisar. Walaupun tak ada bukti-bukti yang mengarah pada kesalahan, namun siapa yang tahu dalamnya hati? Jika dia dibiarkan hidup, boleh jadi dia nanti ... akan cari peluang mendekatimu lagi.”

Mendekati? Ming Ji Li tak bisa membayangkan pemuda sedingin Cin Lee mau mendekatinya. Pernyataan Pangeran Kwee yang berbalut cemburu, sungguh menjengkelkan hatinya. Ia mulai kecewa akan sikap tunangannya itu.

“Hukum tak boleh ditegakkan di atas prasangka!” kata sang dara singkat, agak ketus, sambil beranjak bangkit. “Terimakasih atas kedatangan Anda kemari. Saya rasa, pembicaraan kita sudah cukup.” Putri Ming Ji Li menjura kaku.

Pangeran Kwee terpana menyaksikan kepergian sang putri  yang tanpa basa basi lagi meninggalkannya. Ia terduduk di bangku taman. Galau akan pesan ayahnya. Sekaligus bingung melihat sikap putri bungsu yang telah membuatnya tergila-gila.

🌹🌹🌹

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang