Semburat cemerlang di ufuk timur, mengusir kegelapan malam. Suitan burung-burung camar terdengar membelah langit biru muda.
Putri Ming Ji Li terbangun oleh tepukan salju dingin di pipi. Sepasang mata berbulu lentiknya mengerjap. Lalu tubuhnya terlonjak duduk. Langsung berhadapan dengan samudera biru berlapis uap dingin tipis di tepian pantai pasir putih.
Aroma harum ikan bakar menggugah hidungnya. Perutnya otomatis berkeriuk lapar. Maklum sejak malam tadi belum makan. Bening matanya menangkap bayangan pemuda penolongnya sedang membakar ikan di api unggun pada jarak dua puluh langkah.
Ia bergegas berdiri. Tatap matanya penuh harap. Tetapi diam saja. Didikan istana tak mengizinkannya meminta-minta. Ia terbiasa dilayani.
Pemuda itu masih tak acuh ketika meletakkan ikan di atas selembar daun bakau hijau lebar. Membungkusnya rapi.
“Ambillah!” kata Cin Lee singkat sambil melemparkan bungkusan ikan tersebut. Tanpa memandang sedikit pun.
Hati Ming Ji Li tergigit oleh sikap kasar itu. Ia adalah putri favorit kaisar yang terbiasa disanjung dan diperlakukan hormat. Jika menurutkan perasaan, ia enggan menyambut makanan tersebut. Namun, perutnya terlalu perih, dan ia membutuhkan tenaga untuk melakukan perjalanan. Semarah-marahnya, ia bukan gadis bodoh yang sembarangan melampiaskan emosi. Lagipula, pemuda ini adalah penolongnya, dan kini, menjadi satu-satunya teman di tempat asing ini. Sedapat mungkin ia harus menjaga hati orang itu. Sekali lagi, ia ingat pesan ibunya, orang-orang jianghu susah diprediksi. Mereka jenis orang yang tak terlalu peduli aturan dan etika.
Pemahaman ini membuat Ming Ji Li mampu menekan ego, dan meraih ikan bakar terbungkus daun itu.
Ukurannya cukup besar. Meneteskan lemak yang menggiurkan. Aroma sedapnya membuat Ming Ji Li melahapnya tanpa sungkan-sungkan lagi. Hem, ternyata bumbunya sangat pas, menghasilkan kelezatan melebihi masakan istana. Dagingnya empuk dan gurih sekali. Apalagi dimakan panas-panas di tepi pantai di tengah cuaca dingin seperti ini. Pasti akan lebih sempurna jika ditemani segelas teh panas berkualitas tinggi dari gunung Jiu San yang biasa disajikan di istana.
Seolah tahu isi pikiran gadis itu, secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas, melayang ke hadapannya. Ming Ji Li mendongak, menatap Cin Lee dengan penuh rasa terimakasih.
Oh, ini sungguh pengalaman luar biasa. Setelah hari-hari pahit, dunia terasa sangat cerah. Ia belum pernah sebelumnya mengalami duduk di atas pasir pantai putih, menghadapi lautan biru sambil menyantap ikan bakar dan menghirup teh wangi. Ini seperti keluar dari lingkaran hari-hari membosankan di istana.
Ming Ji Li menyikat habis ikan bakarnya tanpa malu-malu, bahkan menjilatinya sampai tulang terakhir. Menyeruput tehnya dengan nikmat. Ia bersyukur karena berhasil membuang gengsinya. Karena jika tidak, ia tak bisa menikmati ikan besar yang sedap itu.
Gak Cin Lee memperhatikan sekilas. Lalu geleng-geleng kepala. Memangnya ada gadis bangsawan serakus ini?
Wajah seputih giok, tampak segar kemerahan. Bibir mungil bak kelopak mawar, berkilau oleh minyak ikan. Tersenyum cantik saat tanpa sengaja menatap Cin Lee. Senyumnya laksana matahari yang melumerkan kebekuan musim dingin. Matanya membentuk lengkungan bulan sabit.
Pemuda itu terkejut oleh pertemuan pandangan yang tiba-tiba. Cepat membuang pandangannya. Seberkas hangat menyelinap di kisi hatinya. Perasaan ini sungguh menakutkan. Bahaya betul jika berlama-lama dekat dengan gadis itu. Ia harus segera mencari cara supaya lekas terbebas dari kondisi ini.
Usai makan, Cin Lee memadamkan api. Lantas mengayun langkah, pergi begitu saja.
“Taihiap, mau kemana?” Ming Ji Li tergopoh-gopoh menyusul gerakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...