Tiba-tiba, dari arah samping kanannya, menyesap serangkum angin dingin. Cin Lee yang sedang berada di puncak kewaspadaan, refleks mengubah posisi ke kanan seraya mengirim serangan hebat.
"Aahh!" Terdengar pekik kaget, disusul suara tercebur.
Cin Lee masih sempat menangkap bayangan putih terpental ke permukaan sungai, akibat pukulannya. Ia terperanjat. Kuatir salah tangan. Tubuhnya berkelebat secepat kilat menyambar sosok yang hampir tenggelam itu. Kemudian membawanya ke tepian.
"Mengapa kau menyerangku?" Suara lirih, merdu, takut-takut.
Pemuda itu jadi merasa bersalah. Ternyata ia memukul seorang gadis dengan kulit sepucat warna pakaiannya. Entah kapan gadis itu tadi ada di sampingnya. Ia benar-benar tak memperhatikan saking tegangnya.
"Ma-maaf ...," ucapnya terbata, seraya melepaskan pegangannya di tubuh yang telah basah kuyup itu.
Gadis itu menggigil, membiru. Giginya gemeletuk. Cin Lee cepat menempelkan telapak tangan pada punggungnya untuk mengirim energi.
Sesaat kemudian, paras pucat perlahan merona. Seulas senyum manis menghias bibir yang semakin lama semakin merah.
"Terima kasih." Gadis itu mengerjap-ngerjapkan mata bulat lentiknya.
"Kupikir, nenek penunggu sungai ini yang kembali. Seharusnya, kau tak berada di sini. Tempat ini ... berbahaya," tegur Cin Lee sambil menjauh. "Jangan-jangan ... kau salah satu korban penculikan penunggu sungai ini?"
"Tadinya aku ingin meminta bantuanmu. Tapi malah kena pukul." Gadis itu setengah merajuk.
"Jadi, betul, kau korban? Ah, keji sekali penjahat itu!" Cin Lee mengepal tinju. "Aku akan mencarinya sampai ketemu!" Pemuda itu bersiap melompat pergi. Akan tetapi, urung kala teringat akan gadis yang baru saja jadi korban salah pukulnya.
"Eh, bagaimana keadaanmu? Pukulanku tadi ..., tampaknya melukaimu," ucapnya khawatir.
Si gadis terbatuk, mengeluarkan sedikit darah segar.
Cin Lee sungguh merasa bersalah. Ia kembali mendekat. Dan memberikan penyaluran sinkang secukupnya lewat punggung gadis itu.
Entah mengapa, bukannya membaik, si gadis malah semakin melemah. Kulit wajahnya makin lama makin pucat. Cin Lee kian kebingungan tatkala tahu-tahu tubuh gadis itu terkulai, lalu rebah ke atas dadanya.
Naluri kemanusiaan mendorongnya untuk memberikan pertolongan. Ia tak mungkin meninggalkan gadis ini begitu saja. Maka mulailah ia menekan beberapa titik persyarafan agar gadis itu siuman. Tetapi setelah beberapa saat lamanya, tak ada tanda-tanda gadis itu tersadar.
Cin Lee menghela napas panjang. Tampaknya ia terpaksa membawa gadis ini ke perkampungan.
"Mohon maaf, tanpa seizinmu, aku terpaksa membawamu ke desa Bun An, agar mendapat perawatan lebih baik," ucapnya pelan.
Tepat pada saat ia bersiap untuk menggendong, mendadak gadis itu membuka mata.
Alangkah terkejutnya Cin Lee tatkala sepasang lengan gadis itu tahu-tahu telah mengalungi lehernya.
"Koko..., akhirnya, akhirnya kau datang mencariku!" Suara itu merdu sekali, berbalut rindu.
Cin Lee refleks menepis tangan itu dan menjauhkan diri. Ia tegak dengan sepasang mata terbelalak.
Si gadis berdiri pelan-pelan, dengan senyum tak lepas dari bibirnya yang semerah darah. Kontras dengan kulit pucatnya. Tubuhnya tinggi semampai. Dilapisi sutra putih basah yang mengikuti bentuk tubuhnya. Amat menarik. Mata gadis itu bersinar-sinar mengamati.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...