Nona Kiok Bi (2)

153 15 0
                                    

Aku begitu sunyi. Tinggal di bawah kuburan seperti ini serasa mati. Aku ingin sekali mencarimu, Kian Bu. Kau ada dimana? Selamatkah dirimu?

Kesepian ini mencekikku.

Kian Bu, apakah kau sudah mati? Betapa ingin aku menyusulmu. Semua orang di sini sudah gila. Mereka saling berteriak dan memaki. Siapa yang tidak tertekan tinggal di tempat seperti ini?

Tak ada faedahnya emas permata bertumpuk-tumpuk.

Ular-ular merah itu. Entah siapa yang memasukkannya. Semua orang menuduh ini gara-gara sepupuku Kiok Cun lancang membuka kamar terlarang. Padahal aku tahu isi kamar itu awalnya bukanlah ular, melainkan harta karun kakek moyangku yang memang sengaja dipisahkan dari harta paman.

Aku sendiri pernah menyelidikinya. Hanya ayah dan aku yang tahu kebenarannya.

Harta itu lenyap, lalu paman kalap. Menuduh semua keluarga bersekongkol merampok harta.

Kakakku berniat lari dari tempat ini. Kiok Han yang malang. Pamanku membunuhnya. Siapa? Siapa yang memasukkan ular-ular tersebut?

Lalu ayah mengajak aku dan ibu untuk melarikan diri. Tapi gagal. Aku dikurung. Paman dan ayah bertempur sambil berteriak-teriak.

Aku takut sekali.  

Aku tak tahu pergantian hari. Waktu berjalan terasa sangat lambat. Hingga Ibu membebaskanku. Tapi di depan mataku, seseorang membunuhnya.
Seseorang yang selama ini selalu setia mengabdi pada kami.

Aku tak menyangka. Aku berhasil meloloskan diri. Menemukan mayat-mayat keluargaku bergelimpangan di lorong-lorong.

Ayahku, pamanku, bibiku, sepupu-sepupuku. Semua sudah mati. Aku takut. Aku panik. Aku tak berdaya. Lalu bersembunyi di kamar terlarang.

Kamar itu sudah pernah dibakar. Seharusnya ular-ular itu tidak ada lagi. Namun ternyata, mereka masih ada. Tapi aku telah mencapai ambang batas rasa takut.

Kali ini, aku tak bisa mempercayai siapapun. Satu-satunya temanku sekarang adalah mereka.

Mereka menjadi sahabatku sekaligus musuhku. Dagingnya adalah makananku. Darahnya adalah minumanku.

***

Wan Ci menutup buku catatan harian tersebut dengan kasar. Cahaya api yang menyala dari tungku, menerangi wajah keruhnya. 

“Buku apa itu, Momo?”

Wan Ci tak menghiraukan pertanyaan gadis bermuka pucat yang duduk di depan meja. Buku itu dicabik-cabiknya, lalu dilemparkan ke api yang menjilam-jilam. Api merah kejinggaan tersebut lahap membakar habis cabikan kertas-kertas usang tersebut.

“Buku tak penting, Xiaojie,” gumam si nenek tak acuh.

Si gadis muka pucat terpekur diam. Jika Wan Ci bilang tak penting, maka buku itu pasti betul-betul tidak penting.

Gadis itu tak menyadari, nenek di dekatnya menatap dengan sorot mata berkilat benci. Ia sedikit meregangkan lengan-lengannya yang mulus ramping. Tubuhnya tampak kurus dalam balutan sutra putih.

Rona jingga api membias di wajahnya yang sangat menawan. Sinar matanya kelam dan dingin, tanpa daya hidup.

“Kultivasi tahap akhir di peti mati sudah tercapai, Momo.” Suara gadis itu lembut bernada puas, meski wajahnya masih tanpa ekspresi. “Waktu membalas dendam telah tiba.”

“Xiaojie.” Wan Ci putus asa. “Bukan Pasukan Ming yang membantai keluargamu. Tetapi ular-ular itulah!”

“Ular merah itu penyelamatku.” Gadis pucat itu mengirim lirikan tajam. Meski parasnya sangat cantik, namun kesannya menyeramkan karena adanya bayangan gelap yang membesar di bawah mata dan tarikan tegang di mimik mukanya. “Lagipula, jika bukan karena orang-orang Ming, tak mungkin keluargaku melarikan diri dan terjebak di sini!”

Wan Ci menghela napas panjang.

“Xiaojie alergi sinar matahari.”

“Momo tak usah mengkuatirkan diriku. Jaga saja istana ini. Dan latihlah murid momo agar kelak bisa melayaniku dan mengurus tempat ini dengan baik.”

“Xiaojie akan kemana?”

Sepasang mata gadis jelita itu menyipit kejam.

“Memburu putri-putri bangsawan Ming.”

***

#SenyumMusimSemi
#SudahTerbit

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang