Matahari mulai meruyup ke peraduan. Bulan pun bertahta dengan megahnya, menguasai langit malam.
Putri Ming Ji Li duduk di depan cermin besar dalam kamarnya. Wajah tersaput mendung. Senyum yang biasanya tak lekang dari bibir, kini raib.
Apakah ia harus menyerah sekarang?
Tidak.
Kepala indah itu menggeleng kuat hingga hiasan rambutnya bergerincing. Lalu mata birunya yang sembab, lurus menatap bayangan wajahnya di cermin. Airmatanya sudah lama kering.
“Tolong bantu aku melepaskan pernak-pernik di rambut ini! Mahkotanya berat sekali. Kepalaku juga sakit tertusuk-tusuk hiasan rambut!” perintahnya pada Dayang Yun Hwa, satu-satunya dayang yang ia perbolehkan masuk untuk membantunya di kamar ini.
“Ampun, Gongzhu, menurut tradisi, Anda hanya boleh melepasnya setelah Huangzi tiba di sini.” Yun Hwa membungkuk hormat.
“Siapa yang berkuasa di sini? Berani kau menolak perintahku?!” bentak Ji Li, garang.
Dayang Yun Hwa gemetar. Membungkuk-bungkuk berulangkali. Lalu bergegas mematuhi kehendak putri manja ini.
Pelan dan hati-hati, Dayang Yun Hwa mencabuti hiasan-hiasan yang menempeli rambut Putri Ming Ji Li, satu demi satu.
Setelah lepas semua, Ji Li mengembuskan napas longgar. Kepalanya kini terasa ringan.
Rambut lurusnya yang hitam lalu diurai dan disisir perlahan oleh Dayang Yun Hwa. Sementara, tatapan Ji Li sendiri menerawang, kosong. Dadanya menyesak.
Tentu, ia takkan pernah lupa wanti-wanti ibunya pagi tadi. Ibunda bahkan menggenggam jemarinya kuat sekali.
“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan! Mulai saat ini, patuhlah pada suamimu!”
Kalimat terakhir bernada sangat tegas, cenderung khawatir. Kalimat itulah yang mengganggu pikiran dan membuat lidah terasa pahit.
Gadis itu sekonyong-konyong memukul keras meja rias. Mengejutkan Dayang Yun Hwa. Paras jelitanya ditekuk tiga lipatan.
Tidak. Mulai detik ini, aku tidak mau diatur lagi. Justru karena aku sudah dewasa, aku berhak memutuskan jalan hidupku sendiri!
Ji Li bangkit berdiri. Mantap. Ia telah mendapatkan kalimat yang tepat untuk mencegah Cin Lee mendekat.
Tatkala Yun Hwa bersiap membantunya melepaskan mantel merah pengantin, tahu-tahu gadis dayang itu terhuyung. Oleng. Lalu pingsan dan jatuh berdebam ke lantai.
Ming Ji Li terlonjak kaget. Siap menjerit, namun mulutnya terlanjur dibekap seseorang. Di lain saat, kesadarannya hilang.
✿✿✿
Cin Lee sengaja berlama-lama menenggelamkan diri dalam kekhusukan ibadah di ruangan khusus ritual bagi keluarga istana.
Selepas Isya, barulah ia keluar dari ruangan tersebut, lalu menyibukkan diri berkenalan dengan para kerabat dan tamu-tamu istana yang masih terus berdatangan hingga jauh malam.
Tak terasa, malam kian larut. Ratu Guo memintanya secara halus untuk segera meninggalkan gerbang utara, dan menuju istana bagian dalam. Dengan perasaan tertekan, Cin Lee mengiringi kepala keamanan istana, yang mengantarnya menuju kamar pengantin.
Sepanjang menuju kamarnya, ia mengagumi desain artistik setiap ruang dan jalan yang dilaluinya. Lantai yang dipijaknya terbuat dari marmer putih, yang menurut kepala penjaga, didatangkan dari Fangshan. Sedangkan ubin batu pondasinya berasal dari Gunung Panshan, yang letaknya sangat jauh.
Keharuman aroma hutan menguar di seluruh penjuru istana. Membangkitkan rasa ingin tahu Cin Lee.
“Darimana sumber wewangian ini, Paman?” tanyanya pada kepala prajurit.

KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Narrativa StoricaSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...