Putri Ming Ji Li sendiri perlahan-lahan membuka sepasang matanya. Seketika matanya menangkap bayangan seraut wajah yang sangat tampan bercahaya. Manik biru lautnya otomatis terkunci netra sehitam malam yang menyorotkan hawa dingin.
Gadis itu refleks memejamkan mata kembali. Mempelajari kondisinya. Berusaha mengingat-ingat apa yang sudah terjadi. Oh, tadi dadanya sempat sesak dan kepalanya pening karena kedinginan dan kelelahan. Mendadak penglihatannya menguning. Berkunang-kunang. Gelap. Lalu tak ingat apa-apa. Tahu-tahu, begitu kesadarannya kembali, dan matanya terbuka, wajah pemuda itu telah memenuhi penglihatannya.
Selama ini, Putri Ming Ji Li belum pernah dekat dengan seorang lelaki pun. Tata etika pergaulan di istana, telah memagari kuncup bunga sewangi dirinya dengan sangat sempurna. Sehingga, meskipun periang dan ramah pada semua orang, ia adalah mawar istana penuh duri yang terlindungi kotak kaca. Kumbang-kumbang yang mengincarnya, harus berdarah-darah dulu menabrak tebalnya kaca beling, untuk kemudian menggelepar tertusuk duri.
Sekarang, sang mawar telah melayang mengikuti angin, terlempar dari kotak kacanya. Tapi ia masih menyengat berduri. Tak heran kala menyadari posisinya, jantungnya sontak berdebar tegang. Sejuta prasangka menyerbu otaknya.
Ia membuka mata kembali dengan gugup. Pipi diperciki rona merah segar, serupa tomat matang yang menggoda untuk digigit. Sang putri memberontak dan menjauh secepatnya. Tangannya bergerak di luar dugaan.
Plakk!
Cin Lee terperenyak. Pipinya sukses kena gampar. Refleks ia menyentuh pipi dengan sepasang mata terbelalak. Tamparan itu memang sama sekali tidak menyakitkan, tetapi hal ini belum pernah terjadi seumur hidupnya. Hanya ayah yang pernah menamparnya, itu pun saat ayahnya dalam keadaan tidak sadar.
Semenjak ayahnya meninggal, hingga kemudian ia malang melintang di dunia jianghu, belum pernah ada yang mampu mengusiknya. Tak dinyana, kini, seorang dara yang dianggapnya masih anak ingusan, berhasil mendaratkan tamparan di pipinya. Mengapa ia bisa sampai lengah? Ia belum pernah kurang waspada seperti ini!
Gadis muda itu menjauh cepat. Mengatur posisi berdiri. Wajah kekanak-kanakan ditegakkan, menampakkan keangkuhan seorang putri.
“Apa kau tahu hukuman bagi orang yang lancang menyentuh tubuh seorang putri?” Bening sinar mata kebiruan menyambar tajam paras tampan Gak Cin Lee. Cahaya purnama jatuh sempurna menyelimuti tubuh langsingnya yang masih ranum. Walau keseluruhan tampilannya belum menunjukkan kedewasaan, masih serupa kanak-kanak, tapi jelas, itu adalah kecantikan yang luar biasa. Setelah lebih dewasa, dara remaja ini pasti akan lebih menakjubkan.
Gak Cin Lee bangkit perlahan. Pada jarak sepuluh langkah, Ming Ji Li bisa mengukur tubuhnya yang menjulang tinggi. Jauh lebih tinggi dari kakak-kakak pangerannya. Postur tegap seorang pemuda matang, dengan otot kencang yang terlatih silat puluhan tahun. Mengingatkan gadis ini akan sosok seorang jenderal besar.
“Hm.” Pemuda itu hanya mendengus dengan seringai sinis. Sepasang matanya hitam jernih memunculkan riak serupa air telaga di musim gugur, dengan kedalaman tak bertepi. Sorotnya mampu membekukan hati.
Ming Ji Li merasakan hawa kemarahan yang membuat suhu udara yang meliputi sekujur tubuhnya menjadi lebih dingin beberapa derajat. Ia berdebar dan sedikit menggigil. Tangan mungil yang barusan menampar, tanpa sadar disembunyikan di balik punggung.
Cin Lee menghirup udara sebanyak-banyaknya sampai paru-paru mengembang maksimal. Udara laut yang segar mulai mengaliri tubuhnya. Perlahan darahnya yang hampir mendidih, kembali tenang. Percuma, bisik hatinya. Percuma melampiaskan kemarahan pada gadis kecil polos yang bodoh ini.
Ia memutuskan untuk meredam amarahnya. Bagaimanapun, yang dihadapinya masih “anak kecil”.
Sementara itu, Ming Ji Li, setelah mampu berpikir lebih jernih, segera menyadari kesalahpahamannya. Pemuda itu telah menolongnya dari cengkeraman gerombolan baju hitam. Jika orang itu berniat jelek, mana mungkin saat ini ia masih bisa berdiri sehat dengan tubuh hangat? Padahal sebelumnya, ia sangat lemah dan kedinginan.
Sinar tajam dari mata indahnya, pelan-pelan melunak. Tangannya meremas-remas ujung baju saat bibirnya gemetar untuk bicara.
“Ma-maaf ... Tampaknya saya salah paham terhadap Anda.”
Cin Lee acuh tak acuh. Tangannya bergerak seperti melambai. Dari tangan itu mengalir angin berkekuatan yang cukup untuk membuat tubuh Ming Ji Li terdorong mundur lebih jauh.
“Tidurlah di situ!” Telunjuk Cin Lee mengarah ke bawah. Dan gadis itu pun jatuh terduduk di bawah pohon kelapa yang telah bersih dari salju. Sehelai mantel bulu diterbangkan Cin Lee untuk menyelimutinya.
“Besok pagi, kau akan kuantar!” ucapnya sambil duduk melepas penat di hadapan api unggun.
“Tidak!” Putri Ming Ji Li tiba-tiba menyahut tegas. Ia telah membayangkan berbagai rumor jelek jika tahu-tahu muncul di istana bersama seorang pemuda. Lagipula, dalam dirinya mendadak muncul gejolak petualangan yang sudah lama diimpi-impikan. Bukankah sekarang adalah kesempatannya untuk mengeksplorasi dunia jianghu yang selama ini hanya ia dengar dari ibunya? Mumpung ada pendekar hebat yang membantunya. Ia tak usah mengkhawatirkan keselamatan dirinya jika bersama pendekar itu.
“Taihiap, mohon izinkan saya untuk ikut menyelidiki Hek-i-pang bersama Anda,” kata Ming Ji Li sungguh-sungguh. “Mereka telah menculik saya. Bukankah wajar jika saya ingin tahu motifnya?”
Tutur kalimat yang teratur, sopan dan suara lembut jernih seperti kecipak air, baru kali ini didengar oleh Cin Lee. Selama tinggal di kehidupan Uighuristan yang sederhana dan apa adanya, kemudian terjun ke jianghu yang merobohkan semua tata nilai, belum pernah ia berjumpa dengan sosok putri bangsawan.
Aisha juga halus dan lembut. Namun, keanggunan gadis muda yang ditolongnya ini menonjolkan keningratan natural, yang jelas membedakannya dari rakyat biasa. Bahkan sekalipun gadis itu mengenakan pakaian sederhana atau kampungan, cahaya kebangsawanannya tetap tak bisa ditutupi.
Untungnya, Cin Lee bukan pemuda dewasa yang mudah mabuk kecantikan dan merdunya suara wanita. Denting pedang jauh lebih disukainya. Dan ia terlampau malas bicara untuk mengulangi keputusan yang sudah final.
“Taihiap?” Putri Ming Ji Li mengangkat sepasang alisnya saat melihat Cin Lee justru rebah miring memunggunginya.
Kabut hening menyungkup mereka.
Ming Ji Li belum pernah tak dipedulikan begini oleh siapapun. Hatinya mulai terbakar penasaran. Jiwa kekanak-kanakannya muncul.
“Kalau Anda tidak berkenan mengajak saya, maka saya akan pergi sendiri! Anda tidak perlu repot-repot mengantar saya.”
Kening mulus Cin Lee membentuk satu lipatan. Lipatan bertambah saat mendengar suara kain disepak. Lalu langkah-langkah kecil.
“Saya berangkat sekarang juga!” Suara bening merdu terdengar mengandung kekerasan hati.
Gak Cin Lee mengepal tinjunya. Serba salah. Membayangkan jenis kerepotan yang bakal terjadi jika keinginan gadis itu tidak dituruti, benar-benar membikin rusak isi kepalanya. Celaka. Ia sudah berurusan dengan anak bengal. Dengan gemas ia berbalik, lalu mengerahkan energi jarak jauhnya untuk menarik Ming Ji Li untuk mundur kembali. Kali ini dengan gerakan agak kasar. Gadis itu terbanting ke tempatnya semula.
“Terlalu naif!” bentaknya, setengah tak sabar. “Tunggu besok!”
Kata-kata singkat tersebut menumbuhkan harapan di dada Ming Ji Li. Pemuda itu pasti akan mengajaknya. Jika dilihat gelagat, tak mungkin ia dibiarkan pergi sendiri. Cepat-cepat ia menarik mantel dan berusaha tidur. Takut pemuda yang belum diketahui namanya itu berubah pikiran. Ia tak ingin memancing kemarahannya lagi.
Putri bungsu kaisar yang cerdik ini lekas terlelap dengan seulas senyum lega di wajah imutnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...