Pegunungan Thian-San, pagi itu jelas memperlihatkan sentuhan musim kering yang berkepanjangan. Pohon-pohon kehilangan banyak daunnya, bahkan ada di antaranya yang gundul. Cabang dan rantingnya mencuat kering ke sana sini.
Sebatang pohon besar nampak menyendiri di antara pohon-pohon yang layu. Pohon ini nampak masih hijau segar. Mungkin karena akar-akarnya sudah mencari air jauh di bawah permukaan tanah yang kering kerontang itu.
Sawah dan ladang terpaksa dibiarkan menganggur setelah dicangkuli, nampak terbuka dan dengan sabar menanti datangnya air hujan. Kalau angin berembus kuat, nampak debu mengepul di permukaan tanah.
Matahari merangkak ke puncak langit. Musim dingin telah lama berlalu. Bunga-bunga musim semi pun mulai layu. Hawa musim panas menyengat kulit. Sedikit gumpalan-gumpalan awan putih nampak di langit tanpa janji hujan yang sangat di nanti.
Anak-anak sungai tidak ada airnya dan dasarnya yang masih agak basah itu dipenuhi rumput-rumput.
Jauh di atas, beberapa ekor burung beterbangan. Mereka itu lebih beruntung karena dengan sayap mereka, mereka mampu terbang jauh untuk mencari makanan.
Banyak serangga keluar dari sarang mereka di bawah tanah untuk mencari makanan yang amat kurang bagi mereka dan serangga-serangga ini menjadi makanan burung.
Musim kering yang panjang, mengeringkan segala yang berada di atas permukaan bumi, menjadi masa yang sengsara bagi para petani dusun.
Dusun Lo-han di kaki pegunungan itu dilanda malapetaka musim kering yang panjang. Banyak penduduk yang mati karena kelaparan. Satu-satunya sumber air yang berada di dusun itu masih mengeluarkan air, akan tetapi hanya sepersepuluh dari biasanya.
Air yang mengucur kecil inilah yang setiap hari dibuat rebutan penduduk dusun. Hanya sekedar untuk minum.
Pada suatu ketika di dusun tersebut, di kedai minuman pinggir jalan, dekat kaki gunung Cin-lin-san, siang itu sepi pengunjung. Tak seperti biasa. Pemilik kedai mengeluhkannya sambil mengipas-ngipasi tubuhnya dengan kipas dari anyaman bambu.
“Harga-harga naik di saat musim paceklik. Orang-orang berhemat makan minum di kedai. Yah, memang ini sudah biasa. Setiap musim panas tiba, kemarau panjang melanda. Sawah ladang kering. Tempat ini memang tak sesubur Lok Yang. Tapi pemerintah pusat agaknya tak mau tahu. Tetap saja memungut pajak yang jumlahnya disamaratakan tiap daerah. Tak peduli lahan basah atau kering,” Si pemilik kedai menggerundel.
Pemuda yang duduk di depan meja kedai, hanya diam mendengarkan sambil menikmati teh dan semangkuk sup. Wajah tampannya yang bercahaya, nampak acuh tak acuh. Di sisinya, duduk pula seorang lelaki tua berjanggut tipis dengan wajah separuh tertutup caping bambu.
Pakaian keduanya terbuat dari bahan kasar. Masing-masing membawa buntalan pakaian dan sebilah pedang. Menandakan bahwa mereka adalah pendekar pengembara.
Belum ada pengunjung lain di kedai siang itu. Jadi bisa dipastikan, si pemilik kedai bicara pada mereka.
“Ditambah lagi kelakuan pejabat daerah ini. Sssh, sok berkuasa.” Pemilik kedai itu geleng-geleng kepala. Tapi tiba-tiba ia mengamati si anak muda dengan seksama.
“Aih,aih ..., maaf, maaf, Ghongzi. Bicaraku mungkin kelewatan ...,” katanya seolah baru tersadar sambil membungkuk-bungkuk hormat.
Pemuda itu mengerutkan keningnya sedikit. Keheranan atas perubahan sikap tersebut.
“Memangnya kenapa, Paman?”
“Ghongzi tentunya anak pejabat, atau bangsawan. Kata-kataku tadi tak bermaksud menghina orang-orang dari ibukota kerajaan ...,” jawab si pemilik kedai, takut-takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...