Putri Manja

146 17 0
                                    

Hari demi hari menjelang prosesi sakral itu, Ming Ji Li didera kegelisahan. Dunia seakan tak bersahabat. Makan minum pun terasa hambar. Waktu melambat laksana jalannya siput.

Pada hari ketiga setelah jatuhnya keputusan kaisar, seorang dayang tergopoh menyampaikan pesan.

“Gongzhu,” sang dayang memberi hormat, “Paduka ditunggu di taman istana.”

Ming Ji Li sedang rebah bermalas-malasan di bantalan kursi panjang berisi bulu angsa yang berlapis beludru. Ia melirik sang dayang tanpa minat.

“Siapa yang menungguku?” Kening halus sang putri berkerut enggan.

“Gak-taihiap.”

“He?” Ming Ji Li terperanjat. Berani-beraninya ...

“Mari, Gongzhu, hamba antarkan ....” Si dayang mempersilakan.

“Suruh dia yang datang menghadapku!” perintah Putri Ming, jengkel.

Sang dayang malah terdiam gelisah. Tampak ragu, bingung dan serba salah.

Putri Ming Ji Li segera menyadari kesalahan bicaranya. Akibat terlalu emosi, ia sampai lupa bahwa seorang putri tak pantas menerima tamu lelaki yang bukan keluarga di kediaman khususnya.

Setelah menimbang-nimbang sesaat, akhirnya ia memutuskan untuk menemui Gak Cin Lee. Ingin sekali tahu, apa yang hendak disampaikan pemuda dingin itu, sampai berani mati menyuruhnya datang.

Sang putri memasuki taman umum keluarga kerajaan yang terletak di bagian belakang istana. Pepohonan dan bunga-bunga dengan jenis dan ukuran beragam tertanam di taman yang cukup luas itu. Tertata asri. Meneduhkan dan menyejukkan.

Sebuah danau yang permukaannya mengeriput diembus angin tampak di tengah-tengah taman indah tersebut. Berkilau keemasan memantulkan cahaya matahari, bak mangkuk raksasa yang menampung air, dengan puluhan teratai kuning, putih dan merah terapung di atasnya.

Airnya jernih laksana kaca, sehingga bayang-bayang ikan emas dan ikan koi berbagai warna, nampak berseliweran di bawah permukaannya.

Pada pinggir danau, bertengger anggun sebuah gazebo untuk bersantai menikmati pemandangan. Atapnya bertopang tiang yang dihiasi ukiran dedaunan dan akar meliuk.

Seorang pemuda berparas elok dengan postur tinggi tegap, pinggang ramping, terbalut pakaian biru langit, berdiri di dalam bangunan itu. Tampak terpekur menghadapi telaga jernih di depannya. Sepasang lengannya bersilang di balik punggung. Beberapa orang pengawal kerajaan tegak berdiri tak jauh darinya.

Tatkala Putri Ming Ji Li beserta dayang-dayangnya tiba, pemuda itu meluruskan sepasang lengan, menegakkan punggung, membalikkan tubuh, menunjukkan sikap kaku dan serius.

Para dayang tak bisa menahan mulut mereka yang terbuka dan desahan kagum saat menyaksikan ketampanan yang bercahaya di depan mata. Mereka selalu terpesona dengan pangeran-pangeran tampan yang berseliweran di istana. Namun belum pernah ada yang mampu membuat mereka hampir meneteskan air liur seperti ini.

Kalau bukan karena etika istana yang mewajibkan para dayang untuk menunduk, enggan rasanya mereka memalingkan pandangan dari sosok menakjubkan itu.

Ming Ji Li mendesis jengkel mendapati tingkah dayang-dayangnya. Lalu menghadapi pendekar muda itu dengan dagu ditegakkan. Angkuh seperti burung merak.

Pada saat tatapan setajam mata harimau mengintai mangsa, menyorot wajahnya. Entah mengapa, jantungnya sontak berdentang kacau. Kegentaran merayapi dada.

“Aku hanya ingin menyampaikan sikapku.” Suara Cin Lee yang mengandung daya magnetis, terdengar tegas, tanpa basa basi, begitu Putri Ming Ji Li mendekat.

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang