Nona Kiok Bi (1)

179 16 1
                                    

Satu tahun waktu melayang bersama angin.

Tatkala kegelapan menyungkup bumi, Ming Ji Li mulai menyalakan beberapa lampion di ruangan bawah tanah yang teramat luas itu. Ia hanya menyalakan lampion di kamarnya, di dapur dan beberapa ruang luas yang mirip ruangan pertemuan. Sama sekali tak berani mendekati pintu-pintu kamar yang berderet sebanyak dua belas buah.

Ji Li telah menghapal lorong-lorong dalam istana tersebut. Tahu pula letak kamar terlarang, di ujung istana, ditandai dengan pintu bercat putih dengan tanda silang besar warna merah.

Awalnya ia berpikir untuk mengungkapkan identitas dirinya, lalu membujuk Nenek Wan Ci untuk mengantarnya kembali ke istana. Namun setelah mengetahui, nenek ini adalah bekas pelayan keluarga bangsawan Kiok dari kerajaan Yuan yang melarikan diri dari serangan pasukan Ming, ia ragu akan sikap nenek dari Yuan itu terhadap dirinya. Maka Ji Li memutuskan untuk tetap merahasiakan latar belakangnya demi kehati-hatian.

Nenek Wan Ci tampaknya tak mempedulikan asal usulnya. Belakangan akhirnya Ming Ji Li menyadari, nenek berpakaian bangsawan itu sedikit miring otaknya. Jika sedang waras, nasehatnya begitu lurus dan jernih. Tetapi di lain saat, ia bisa meracau, bicara sendiri dan tak mengacuhkan siapapun atau apapun yang ada di dekatnya.

"Jika anak perempuanku masih hidup dan sempat berkeluarga, maka cucuku akan sebaya dirimu," ungkap nenek bergigi hitam itu suatu waktu. "Sayang sekali, Xiaojie ...," Wan Ci menghentikan kalimatnya sampai di sini.

Ming Ji Li agak penasaran tentang Xiaojie (nona) ini. Telah beberapa kali nenek Wan Ci keceplosan menyebutkannya tanpa memberi penjelasan. Akan tetapi Ming Ji Li menahan diri. Ia kuatir jika terpancing untuk balas mengungkap jati dirinya sendiri.

"Kamu sangat lembut dan sopan. Sayang sekali jika tidak memiliki perlindungan diri. Akan mudah sekali diperlakukan orang dengan semena-mena." Nenek Wan Ci menatap serius. "Apa kau tidak takut kejadian waktu itu terulang kembali? Itu gara-gara kau lemah!" Si nenek mencela.
"Seorang gadis harus membekali diri dengan kepandaian silat, agar tak mudah diganggu penjahat," lanjut Wan Ci, penuh tekanan. "Jianghu terlampau berbahaya. Riskan sekali jika berkeliaran tanpa pertahanan diri. Apakah kau tak ingin membalas dendam atas kematian pemuda yang kau anggap penting itu? Lalu orangtuamu, apakah tidak khawatir kalau kau sampai tersesat dan jatuh ke pelukan seorang pemuda hidung belang?"

Ming Ji Li hampir tersedak mendengar kalimat "jatuh ke pelukan seorang pemuda hidung belang". Bayangan paras tampan yang datar dan dingin, mencuat di benaknya. Disertai kenangan saat dirinya dibanting pemuda itu dari gendongan ketika pertamakali berjumpa. Termasuk peristiwa saat tubuhnya didorong hingga terjajar ke dinding gua ketika mereka menghindari pengejaran orang-orang Hek-i-pang.

"Ayah ibu masih ada," sahutnya setelah berhasil meremas kenangan tersebut dengan sedih dan sedikit jengkel. Bagaimanapun, pemuda itu sudah tiada. "Tapi mereka ... memaksaku menikah .... " Gadis cerdik ini sengaja membiarkan kalimatnya mengambang.

"Oh," si nenek menepuk paha dengan gemas. "Keterlaluan sekali! Pantas kau melarikan diri bersama kekasihmu yang bernasib naas itu! Anak baik, kau beruntung berjumpa denganku! Jadilah muridku! Setelah mempelajari ilmu kesaktian dariku, kau bisa kembali kepada orangtuamu dengan kepala tegak dan lebih mandiri. Mereka tak akan bisa memaksamu lagi!"

"Eh ..., Nenek betul sekali ...." Ming Ji Li mengangguk, menyetujui. Tiba-tiba merasa diingatkan akan penderitaannya tatkala diculik saat berkuda hingga akhirnya terjebak fitnah keji. Semua gara-gara ketidakbecusannya membela diri.
Jika ia pandai ilmu silat, maka ia tidak perlu pengawalan Kim-i-wi. Tak membutuhkan perlindungan seseorang lagi. Tak perlu mengharapkan Cin Lee.

Jantung Ji Li gemetar ketika teringat saat-saat pemuda itu terjungkal roboh sambil memuntahkan darah segar. Sepasang tangan mungilnya dikepal kuat hingga kuku terbenam ke dalam kulit putihnya. Ia berjanji dalam hati, akan membalas kekejian Hek-i-pang dan orang-orang di belakangnya, demi Gak Cin Lee.

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang