Tahun 1377 Masehi.
Guru Ahmet Khan adalah seorang tua yang welas asih. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu irit dan sarat makna. Aura yang memancar dari paras teduhnya, memberikan kesejukan dan rasa damai bagi siapapun yang berjumpa dengannya.
Cin Lee langsung menitikkan air mata saat sang guru menyapanya untuk pertama kali.
“Anak tabah, wajahmu sangat muram.”
Mengalirlah kisah dari mulut Cin Lee tanpa diminta. Entah mengapa, tiba-tiba ia langsung percaya dan merasa ringan untuk terbuka pada guru besar suku Uighur ini. Mungkin karena wasiat ayahnya. Cin Lee bercerita dengan air mata bercucuran hingga dadanya terasa sesak.
Usai mendengarkan seluruh ungkapan beban batin Cin Lee dengan sabar, Guru Ahmet Khan menyentuh bahu pemuda remaja itu dengan lembut.
Cin Lee tahu-tahu merasakan hawa sejuk merembes. Melonggarkan dada dan meredakan berat di kepalanya. Tiba-tiba ia merasa sangat nyaman. Apalagi ketika bersitatap dengan mata teduh sang guru.
“Aku tidak akan menyia-nyiakan amanah dari ayahmu.” Orang tua itu tersenyum.
Sejak itu, mulailah Cin Lee digembleng oleh Guru Ahmet Khan. Di tahun pertama, sang guru tidak mengajarkan ilmu silat secuil pun. Cin Lee malah ditempa dengan ilmu-ilmu yang memperkuat batin. Berupa pengokohan pemahaman Islam dan aturan-aturannya.
“Tiada gunanya ilmu apapun tanpa pikiran yang bersih serta ikhlas mendamba cinta Allah.” Demikian sang guru memberikan nasihat. “Kekecewaan, frustasi, depresi dan berbagai penyimpangan perilaku, bersumber dari sesat pikir dan batin yang terkotori hawa nafsu.”
“Ya, Guru,” sahut Cin Lee patuh sambil merenungi ucapan gurunya.
“Makanya penting sekali untuk meluruskan nalar dan mengisi batin dengan kecenderungan baik untuk menghasilkan tingkah laku yang benar, yang disukai oleh Yang Maha Kuasa. Dengan begitu, kau akan menjadi orang yang berprinsip, tak gampang tergoda tipuan dunia.”
Cin Lee mulai mengendapkan semua wejangan tersebut dalam akalnya. Menyerapnya sungguh-sungguh, hngga ia mendapati keyakinan pasti dalam dirinya. Perlahan-lahan, matanya mulai terbuka. Dapat mempelajari kesalahan-kesalahan ayah dan ibunya. Hatinya yang sempat trauma, berangsur-angsur menerima keadaan dirinya.
Pada tahun kedua, mulailah Guru Ahmet Khan menurunkan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi sambil terus menerus membanjiri Cin Lee dengan ilmu-ilmu kehidupan yang menyejukkan.
Cin Lee menetap di kalangan suku Uighur selama enam tahun. Belajar baca tulis yang memperluas wawasannya. Menimba ilmu agama, yang mengubah caranya memandang hidup. Untuk pertama kalinya, ia mulai merasakan ketenangan. Walaupun demikian, karakter dasar yang dibentuk ayahnya sejak kecil, hingga berusia lima belas tahun, terlanjur berkarat. Sulit sekali dibersihkan. Endapan kenangan akan penderitaan ayah akibat ditinggal ibu, menghantui hari-harinya. Menimbulkan semacam proteksi diri. Berupa sikap dingin dan enggan berurusan terlalu dekat dengan makhluk berjenis perempuan.
Guru Ahmet Khan yang berpandangan jeli, mampu mendeteksi sikap yang tidak dibentuk dari pemahaman yang benar tersebut. Memang, membatasi pergaulan dengan wanita, adalah hal yang diperintahkan oleh keyakinan mereka. Tujuannya harus semata-mata demi mentaati Allah. Akan tetapi, Cin Lee membatasi diri terlampau berlebihan, lebih karena rasa benci yang irasional. Pemuda remaja itu hanya mau berinteraksi, atau menolong seorang perempuan jika masih anak-anak yang belum baligh. Selain itu, jangankan menolong, sekedar berpapasan pun ia enggan.
Perlahan-lahan, ulama ini meluruskan pemahaman yang kurang tepat tersebut. Menjelaskan batasan interaksi yang boleh dan tidak boleh, serta tujuan yang benar saat berinteraksi tersebut. Guru besar Uighuristan itu pun senantiasa menajamkan pemahaman tawakkal, qadha dan qadar, agar perasaan rusak itu terkikis.
“Tak semua wanita seperti ibumu, Nak. Kau bisa melihat rata-rata muslimah Uighur. Mereka dibentuk oleh cara berpikir dan berperilaku Islam yang kuat. Meski bukan malaikat, tapi Islam mengajarkan mereka untuk selalu menjaga kesucian dan berupaya menjadi lebih baik setiap harinya. Berupaya untuk taat dan patuh hanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta walinya.” Demikian Guru Ahmet Khan memberikan pandangan untuk meluruskan pendapatnya yang tidak tepat mengenai wanita.
Cin Lee hanya mengangguk membenarkan tanpa suara. Ia lebih suka meresapi sendiri setiap wejangan, hanya bertanya jika betul-betul tidak paham.
Panah waktu melesat jauh menuju masa enam tahun kemudian. Gak Cin Lee, putra Gak Hui, keturunan Jenderal Gak Bun dari Kerajaan Ming, tumbuh dewasa, menjadi seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap. Ketampanannya yang telah menonjol sejak kecil, kian bersinar. Menawan hati siapapun yang memandangnya. Sikapnya yang cenderung pendiam, tapi sangat peduli pada sesama, menyenangkan hati orang-orang yang mengenalnya. Setiap orangtua yang memiliki anak gadis, mendambanya sebagai menantu. Gadis-gadis Uighur diam-diam suka mengamati dan mencari-cari perhatiannya.
Sampai tibalah suatu waktu, menginjak akhir tahun keenam keberadaannya di Uighuristan, sang guru menyampaikan niatnya untuk menjodohkan Cin Lee dengan cucu perempuannya, Aisha.
Aisha memiliki akhlak serupawan parasnya. Tak pernah terjuntai sehelai pun rambut dari balik kerudung tebal dan rapat yang membalutnya. Cheongsam-nya lebar dan panjang, tanpa peluang segaris pun terlihat lekuk tubuhnya. Tutur katanya lemah lembut dan tertata. Pergaulannya pun terjaga.
Rata-rata pemuda muslim di Uighuristan memimpikan untuk berjodoh dengan cucu Guru Ahmet Khan yang cantik dan alim itu.
Akan tetapi, Cin Lee berbeda. Sebetik pun tak terlintas di hatinya untuk mendamba gadis itu, bahkan tidak gadis manapun. Ia sama sekali belum terpikir untuk menikah. Maka itulah, ia terkejut saat mendapat tawaran dari gurunya.
Saat itu, pada usianya yang kedua puluh dua tahun, Cin Lee hanya mampu terpekur. Menekuni sajadah di depannya. Air bening mengembun di pelupuk matanya.
“Ampuni saya, Guru. Saya khawatir belum mampu membahagiakan adik Aisha.” Pemuda itu akhirnya mengemukakan alasan penolakan dengan suara bergetar.
Guru Ahmet Khan terdiam. Menarik nafas panjang. Teringat Aisha, cucunya yang telah yatim piatu itu. Ia sering memergoki gadis itu melamun dengan tatapan melayang ke jendela pondok tempat pemuda itu menetap. Jika jendela terbuka dan raut tampan Cin Lee muncul, Aisha lekas memalingkan pandangan dengan pipi merona merah. Inilah dasar alasan sang guru ingin menjodohkan cucunya itu dengan Gak Cin Lee. Lagipula ia menilai, meski agak pendiam dan cenderung muram, Cin Lee berakhlak baik, bertanggungjawab dan sangat telaten dalam pekerjaan apapun. Pemuda itu layak sebagai calon suami cucunya.
“Aku tahu. Racun masa lalu masih mengotori benakmu. Singkirkan prasangka buruk itu dari hatimu, Nak. Sebab hanya akan menggerogoti amal.”
Cin Lee menunduk semakin dalam. Setetes bening jatuh ke atas pangkuannya.
“Saya sudah berusaha, Guru. Tapi ... pikiran-pikiran negatif itu selalu muncul. Terkadang saya merasa khawatir, jangan-jangan sudah tak normal. Karena ..., saya bahkan belum pernah tertarik pada perempuan.”
Guru Ahmet Khan mengelus jenggotnya.
“Belum pernah tertarik, itu bagus. Karena ketertarikan sejati hanya muncul setelah menikah.”
Air mata Cin Lee kian deras bercucuran. Wajah yang sangat tampan itu lalu diangkat.
“Mohon ampuni saya. Justru di situlah letak persoalannya.”
***

KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...