Phibu di Thian San (2)

153 24 1
                                    

Semangat sang jenderal cukup membakar jiwa pendekar Cin Lee. Ia memang telah membaca adanya bahaya jika pibu ini dimenangkan oleh orang yang hanya ingin mengambil keuntungan pribadi dari kedudukan bengcu. Ia juga mulai berpikir, langkah apa yang seharusnya dilakukan setelah menimbang kebenaran kata-kata Tan Hwi.

Akan tetapi, tetap saja hatinya keberatan untuk mengejar kedudukan pemimpin. Selama lebih dari tiga tahun malang melintang di jianghu, tak pernah terbetik di pikirannya untuk ikut campur persoalan suksesi kepemimpinan.

Jenderal Tan Hwi memutuskan untuk menghentikan pembicaraannya ketika Gak Cin Lee tak menanggapi lagi. Pemuda itu nampak acuh tak acuh, mengalihkan fokusnya ke panggung. Akan tetapi, Tan Hwi tahu, pemuda itu sedang merenungi hasil diskusi mereka barusan.

Tak lama kemudian, terdengar pengumuman dari pembawa acara bahwa pertandingan akan segera dimulai.

Tuan rumah merangkap ketua panitia, adalah Pangcu Thian-san-pai bernama Gu Siok. Bertubuh tinggi besar dan agak bopeng. Setelah memberikan sambutan dan sedikit berbasa basi, ia mempersilakan para calon untuk naik ke panggung.

Lima orang melayang ke atas panggung susul menyusul. Rata-rata tak lupa melayangkan pandangan mata dengan berbagai persepsi ke arah Gu Yun Ge, putri Gu-pangcu.

Kelima orang tersebut lalu menjura hormat pada penonton dan para juri. Gu Siok lalu memperkenalkan mereka satu persatu. Cin Lee terkesima saat mengenali salah satu calon bengcu. Orang itu tidak lain adalah Yong San-locianpwee.

“Mereka adalah calon-calon terhebat yang diajukan oleh beberapa kelompok besar di dunia persilatan. Tapi tidak menutup kesempatan bagi calon independen untuk mengajukan diri! Sebelum acara dimulai dan peluang mencalonkan diri ditutup, saya tawarkan kepada hadirin sekalian yang merasa memiliki kelayakan untuk menjadi bengcu, agar naik ke atas panggung!” seru Gu Siok, disambut dengan tepuk tangan meriah oleh para penonton.

Akan tetapi masing-masing dari hadirin yang sebagian besar terdiri dari para ahli silat itu hanya saling pandang sesamanya, dan tak ada yang berani mengajukan diri karena merasa kepandaiannya belum cukup. Sehingga mereka tak berani bersaing dengan lima calon di atas panggung yang merupakan orang-orang terhebat yang telah terpilih.

Setelah menanti beberapa saat, tidak nampak reaksi dari orang-orang. Gu Siok kemudian memberi isyarat kepada pemukul gong, agar membunyikan gong tanda pertandingan akan segera digelar.

Tiba-tiba, seorang pemuda berbaju biru langit melompat naik ke atas panggung. Mengejutkan semua penonton, termasuk Gu Siok dan lima calon bengcu yang siap berlaga.

Pemuda itu, menegakkan tubuhnya yang tinggi, ramping dan tegap. Rambut lurus sehitam tinta melambai disapu angin, kontras dengan kulit seputih giok yang bercahaya oleh sepuhan lembut sinar matahari. Parasnya yang sangat tampan, seketika menyedot perhatian. Memancing decak kagum dan  pujian, terutama dari kalangan pendekar wanita yang masih muda-muda.

Jenderal Tan Hwi memperhatikan dari barisan belakang dengan wajah tenang dan dua ujung bibir melengkung naik.

Sementara itu, Souw Lian, cucu Yong San-locianpwee yang duduk di jajaran depan, tak mampu menahan seruan terkejut sekaligus bahagia melihat sosok ini. Tatapannya bertabur rindu.

Gu Yun Ge, putri Gu-pangcu yang menjadi sorotan publik di even ini, tak kuasa menahan silau. Ia belum pernah menemukan pemuda setampan ini. Beberapa saudara lelaki seperguruannya juga menawan, tetapi jika dijejerkan dengan pemuda itu, aura mereka jelas akan tenggelam. Gadis berpakaian pink ini, berdiri di luar sadarnya untuk memperjelas penglihatan. Matanya menelan penampilan indah di panggung tanpa berkedip.

Gu-pangcu kerutkan kening. Tingkah laku putrinya ini cukup mencolok. Sebagai seorang ayah, ia agak malu melihat anak perempuannya memperhatikan sesosok pemuda secara terbuka di tengah orang banyak.

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang