Souw Lian

276 24 0
                                    

“Kalau boleh aku tahu, darimanakah asalmu, Cin Lee? Kemana tujuanmu?” 

Gak Cin Lee menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Kakek Yong San. Ia duduk dengan kaki diselonjorkan pada akar pohon beringin sambil menatap rembulan. Di hadapannya, api unggun meliuk-liuk lembut tertiup angin semilir di hutan bambu. 

Souw Lian mengamati Cin Lee hampir tak berkedip. Ia belum pernah melihat wajah setampan ini. Muka Cin Lee setelah bersih-bersih di sungai terlihat lebih bercahaya. Souw Lian serasa melihat wajah boneka. Cin Lee cakep sekali dan menggemaskan. Ia jadi ingin mencubit-cubit. 

“Ayah saya Gak Hui, sudah meninggal. Saya berasal dari Pulau Yingjun, di perairan Laut Tiongkok Selatan,” jawab Cin Lee singkat. “Saya ingin memenuhi wasiat ayah, Locianpwee. Menemui seorang sakti di Uighuristan. Sebenarnya saya sendiri tidak tahu di mana letaknya.”

“Ilmu kesaktian Lee-lauko hebat sekali!” celetuk Souw Lian. 

“Ayah yang mengajari.”

“Aku pernah dengar nama Gak Hui. Dia yang berjuluk Pendekar Aneh itu, ‘kan? Belasan tahun yang lalu, namanya pernah menggegerkan dunia persilatan. Almarhum putriku sempat berteman dengannya. Dia memang sangat hebat. Sayang sekali, kelakuannya aneh, agak ugal-ugalan, dan tidak jelas berada di pihak mana.”

Paras Cin Lee berubah muram. Teringat ayahnya. Sekaligus terbayang peristiwa tragis, pembunuhan ibu oleh ayahnya. Sepasang matanya sesaat mencorong kemerahan. Tangan terkepal. Akan tetapi, hanya sebentar. Pelan-pelan, gelora kemarahan itu meredup kembali saat terkenang akhir menyedihkan dari hidup sang ayah.

Kakek Yong San sempat menangkap perubahan sikap ini. Pandangannya yang bijaksana memaklumi untuk tidak mengungkit apapun lagi perihal identitas Cin Lee. Lagipula mereka baru saja saling mengenal. Agaknya perkara ini cukup sensitif bagi anak itu.

“Aku jadi kepingin tahu wilayah Uighuristan!” cetus Souw Lian tiba-tiba, antusias. Bening matanya berbinar-binar, ditambah bayangan api menari-nari, sehingga mata itu kian terlihat indah. “Kakek, aku ingin jalan-jalan ke sana! Bagaimana kalau kita sekalian mengantar Lee-lauko? Lagipula, lebih baik melakukan perjalanan bersama, daripada sendirian, iya ‘kan, Lauko?”

Cin Lee terkesiap. Ia belum pernah berkawan sebelumnya. Sesaat ia meragu. Menatap paras Kakek Yong San yang ramah dan tersenyum cerah. Yong San tampak mengangguk-angguk, menyepakati usul cucunya. Kakek petualang ini memang sudah lama tidak merantau ke daerah Barat. Di sana kaya dengan pegunungan indah dengan sungainya yang berkelok-kelok menakjubkan. Tentunya akan sangat menyenangkan berkelana sekaligus bertamasya ke wilayah itu. 

“Usul yang baik sekali, Souw Lian! Bagaimana, Cin Lee, apakah kau bersedia kami temani?”

Cin Lee akhirnya mengangguk. Tak ada masalah, sih, kalau kakek dan cucu itu ikutan ke Uighuristan. Lagipula ia suka pada Kakek Yong San. Orang tua itu tampaknya bijak dan membuatnya merasa nyaman. Hanya satu ganjalannya. Souw Lian. Selama dalam perjalanan, anak perempuan itu tak puas-puasnya memandangi bahkan sesekali tangannya gatal mencubit pipi. 

“Kenapa, sih?” tanyanya pada suatu waktu. Kesal.

“Kenapa apanya?” Souw Lian melebarkan matanya.

“Kenapa suka menatapku seperti ingin menelanku, dan kenapa sering mencubit pipi?”

“Hikhik ....” Souw Lian terkikik. Di akhir tawa, ia menyeringai nakal. “Lauko tampan sekali seperti boneka perempuan. Aku jadi gemas dan ingin mencubiti. Jika Lauko boneka beneran, aku akan memeluk-melukmu!”

Cin Lee jadi merinding. Dan sejak itu, sebisa mungkin jaga jarak dengan Souw Lian. Takut kalau anak itu khilaf. Ia tak sudi dicubit atau dipeluk seperti boneka!

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang