Pada saat Cin Lee menceritakan tentang peristiwa jebakan tersebut, Putri Ming Ji Li serasa tak punya muka lagi saking malunya. Ingin sekali ia mencegah pemuda itu mengungkapkan aib tersebut, akan tetapi lidahnya terasa kelu.
“Teecu bersyukur, Tuan Putri berada di tangan yang tepat,” ucap Cin Lee lega. Dan aku sekarang bisa bernafas longgar. Lanjutnya dalam hati.
“Aku pun senang sekali karena Suheng berhasil menemukan kami!” kata Souw Lian menampakkan wajah ceria. Namun api melindap di bilik jantungnya. “Tapi fitnah itu memang benar-benar keji!” kecamnya kemudian sambil melirik Putri Ming Ji Li sekilas.
Lirikan itu tertangkap oleh sang putri. Memunculkan debar bingung di dadanya, karena sinar mata Souw Lian setajam mata pisau.
“Yah, semoga fitnah ini tidak berkembang menjurus kepada hal yang lebih buruk. Kau tentunya harus ikut bersama kami untuk mengantar Tuan Putri dan menghadap kaisar.”
Cin Lee menghela nafas panjang, lalu mengembuskannya pelan.
“Ya, Shifu. Teecu terpaksa menghadap kaisar untuk meluruskan kesalahpahaman.”
Yong San mengangguk-angguk.
“Sekarang, ayo, kita beristirahat. Ini sudah lewat tengah malam. Aku mengantuk sekali ....” Kakek itu menguap lebar. “Besok kita akan bersama-sama memulai perjalanan untuk mengantar Tuan Putri.”
Mereka mulai menata tempat untuk tidur. Cin Lee memilih istirahat dengan duduk bersandar di batang pohon beringin, terpisah dari yang lain. Ia bersedekap. Mengatur nafasnya hingga halus teratur. Kakek Yong San loncat ke atas dahan pohon, lalu tertidur dengan nyenyaknya sampai ngorok. Sedangkan Souw Lian dan Sian Li rebah di atas selimut kulit milik Souw Lian yang dibikinnya sendiri.
Hawa semakin dingin. Api unggun semakin redup.
Cin Lee bangun menjelang dini hari. Lalu menata api agar menyala lebih besar. Lantas pergi mencari sungai. Bersuci dengan wudhu. Bersiap mengadukan nasib kepada Rabb-nya.Usai ibadah malam, tepat pada saat akan kembali beristirahat, ia melihat Ming Ji Li sudah duduk anteng di depannya.
“Mengapa menyusul saya?” lirih gadis itu dengan mata laksana riak air musim gugur. Sikap dan kalimatnya masih formal.
Cin Lee tertegun. Lalu terbatuk kecil sebelum menanggapi.
“Aku bukan orang yang tidak bertanggungjawab.”
Gadis muda itu tersenyum mengejek. Namun senyuman itu, dalam siluet api unggun, malah nampak menggoda.
“Sebelumnya, Anda meninggalkan saya dengan tiba-tiba. Lalu sekonyong-konyong kembali untuk menyeret saya ke rumah Paman Gu. Dan kemudian ... Anda ingin menyerahkan saya pada orang-orang kota yang tidak jelas dan hanya kemaruk hadiah. Sekarang, Anda mengaku bukan orang yang tidak bertanggungjawab. Hem, agaknya kepribadian Anda termasuk ambigu. Plin plan. Tak bisa dipercaya.”
Udara mendadak panas di ubun-ubun Gak Cin Lee. Untuk pertamakali dalam hidupnya, jantungnya dibakar emosi pada diri sendiri. Ucapan gadis itu, tak ada satupun yang bisa dibantahnya. Tapi, ia enggan untuk menjelaskan latar belakang sikapnya. Itu terlalu memalukan.
“Terserah apa pendapatmu!” tandasnya dingin. Aura menakutkan menguar dari tatapan matanya.
Jemari Ming Ji Li agak gemetar oleh rasa gentar. Tetapi dengan cepat ditepisnya. Ia adalah putri agung kaisar yang terhormat. Tak seorangpun yang bisa menggertaknya. Ia tak akan membiarkan seorang pemuda kampung, kasar dan tidak intelek memojokkan dirinya!
“Saya memang merasa berterimakasih atas bantuan Anda sebelumnya. Tapi, dengan adanya kejadian itu ...,” Sang putri agak terengah, “lebih baik kita tidak bertemu lagi. Anggap saja kita tak pernah saling mengenal!” Suara gadis itu rendah dan lembut, namun laksana denting logam perak jatuh di atas piring kaca, memecah keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...