Melenting mundur ke tahun 1362 Masehi.
Jenderal Gak Bun adalah salah satu tokoh militer kepercayaan Panglima Besar Xu Da dengan prestasi cemerlang. Loyalitas dan kehebatan strategi militernya, cukup menyaingi Jenderal Lan Yu yang ditunjuk sebagai wakil Xu Da oleh Hongwu. Namanya cukup harum di seantero kerajaan.
Keluarganya pun terkenal sebagai keluarga rukun yang selalu tampak bahagia.
Akan tetapi, di balik kebahagiaan itu, tersimpan satu cacat cela yang enggan diungkap ke khalayak.
Empat dari lima putranya lahir sempurna, baik fisik maupun mental. Sayangnya, satu putranya lahir berbeda.
Putranya yang kedua, Gak Hui, fisiknya normal bahkan sangat menawan. Namun, perkembangan emosinya agak terlambat dibandingkan yang lain. Ia sangat cerdas dalam meniru gerakan apa saja, tapi sama sekali bodoh di bidang sastra. Wataknya juga lebih temperamental dibanding saudara-saudaranya.
Tiba-tiba satu musibah terjadi. Gak Hui jatuh sakit di usia delapan tahun. Terserang penyakit panas selama berminggu-minggu. Para tabib telah memberikan berbagai macam obat. Namun, panasnya hanya turun beberapa saat, lalu naik lagi. Akhirnya setelah dua bulan dirawat dan diobati dengan telaten, Gak Hui bisa disembuhkan. Hanya saja perkembangan mentalnya mulai menunjukkan kelainan. Lebih mudah marah dan mengamuk tanpa sebab.
Jenderal Gak Bun menjadi malu. Kadang di tengah orang banyak, Gak Hui menunjukkan kelakuan aneh. Ia dan istrinya kemudian sepakat untuk menyembunyikan sifat Gak Hui ini. Mereka bekerja keras mencarikan guru yang bisa mengajari putranya agar mampu mengendalikan diri.
Akhirnya atas saran kerabat, Gak Bun mengirim putranya ke wilayah Barat. Berguru pada seorang ulama besar suku Uighur di Uighuristan.
Sepuluh tahun kemudian, Gak Hui kembali dengan perilaku yang lebih menyejukkan.
Segenap keluarga menyambut gembira. Bahkan Gak Hui memperlihatkan keahlian silat yang mengagumkan, sehingga ayahnya memberi kedudukan sebagai kepala prajurit.
Sayangnya, Gak Hui hanya betah menjabat selama dua bulan. Ia tak suka hidup terikat, lalu minta izin untuk mengembara, sesuai kebiasaan para pendekar pada zaman itu. Gak Bun terpaksa meluluskan permohonan putranya.
Gak Hui berkelana selama bertahun-tahun, hanya sesekali pulang ke rumah. Ia belajar ilmu silat pada berbagai macam guru, baik aliran putih maupun aliran hitam. Ilmu silatnya meningkat pesat. Sepak terjangnya cukup menggegerkan dunia jianghu. Terkenal sebagai pendekar dengan sikap susah ditebak. Acuh tak acuh dan emosi suka berubah-ubah. Kadang memihak golongan putih, sesekali condong ke golongan sesat. Akhirnya ia dijuluki Pendekar Aneh.
Nama Pendekar Aneh menjadi sangat populer dan mengusik ketenteraman keluarga Jenderal Gak Bun. Orang-orang mulai menghubung-hubungan jenderal kepercayaan Xu Da ini dengan Pendekar Aneh Gak Hui. Sebagai orang yang sangat menjunjung tinggi nama baik dan harga diri, tentu saja Gak Bun jadi mengkhawatirkan kiprah putranya di belantara jianghu. Apalagi ia sedang membangun kepercayaan dan dukungan bagi barisan Panglima Xu Da. Ia khawatir, citranya tercemar oleh kelakuan Gak Hui.
Maka, demi merangkul putranya agar berhenti merantau dan memperkuat kedudukan militernya, Jenderal Gak Bun berniat menjodohkan Gak Hui dengan Ciu Hwa, putri dari Bangsawan Ciu, yang berkerabat jauh dengan salah seorang istri kaisar.
Pada saat putranya itu pulang menjenguk karena merasa rindu keluarga, Jenderal Gak Bun membujuknya agar menikah. Ia mengemukakan alasan, Gak Hui telah berusia matang, sudah saatnya menetap dan hidup tenang.
Gak Hui saat itu telah berusia tiga puluh lima tahun. Tak kunjung mau menikah. Kelakuan anehnyalah yang membuat gadis-gadis enggan mendekat. Kehidupan cintanya sangat menyedihkan. Ia cukup frustasi. Maka ketika akan dijodohkan, ia sempat trauma dan menolak. Akan tetapi, begitu berjumpa Ciu Hwa, ia langsung jatuh cinta.
Ciu Hwa memang sangat cantik. Dambaan banyak pemuda. Sebenarnya ia sudah memiliki kekasih. Namun, keluarga memaksanya untuk berjodoh dengan putra Jenderal Gak Bun demi kepentingan politik. Kehidupan pernikahan dengan Gak Hui dirasakannya bagai neraka. Sebaliknya Gak Hui sangat mencinta dan memuja Ciu Hwa. Tulus. Bahkan sampai possesive.
Setahun kemudian, mereka dianugerahi seorang bayi. Gak Cin Lee. Lahir dalam limpahan kasih sayang dan kemewahan keluarga Jenderal Gak. Semua orang terpukau oleh kulitnya yang bersinar dan wajahnya yang sangat tampan, mendekati kecantikan perempuan. Dagunya sedikit berlekuk. Pipi dan bibirnya kemerahan. Manik matanya hitam dan berair. Berkilau-kilau jika tersenyum. Kecerahan parasnya membuat setiap orang akan jatuh hati pada pandangan pertama. Anak ini sampai dijuluki Yingjun atau si tampan.
Pesona cucu pertama Jenderal Gak Bun ini, mengundang perhatian Hongwu atau Kaisar Ming Thai Zhu. Sang kaisar sampai berkenan memberi selamat dan hadiah. Bahkan sempat terlontar gurauan, seandainya kaisar memiliki seorang putri, maka kaisar ingin menjodohkannya dengan Yingjun.
Setelah tujuh tahun berumahtangga, Ciu Hwa tak tahan lagi dengan sikap possesive Gak Hui. Ia diam-diam kembali menjalin hubungan dengan kekasih lamanya, yang tidak lain adalah perwira bawahan mertuanya sendiri.
Suatu hari, Cin Lee kecil yang waktu itu telah berusia enam tahun, tak sengaja menyaksikan sebuah peristiwa tak pantas. Ia menangkap basah ibunya berselingkuh. Satu rahasia umum yang kerap dilakukan para bangsawan tak bermoral.
Sebagai bocah polos, ia langsung melaporkan penglihatannya itu pada ayahnya yang pencemburu.
Gak Hui segera melakukan penyelidikan dan berhasil menemukan bukti penyelewengan istrinya.
Ciu Hwa kemudian mengakui pengkhianatannya dengan berani. Betapa hancurnya hati Gak Hui saat itu. Langit seakan runtuh dan bumi terbelah. Rasa sakit hati meruap hingga ke ubun-ubun, menggelapkan matanya. Penyakit lamanya kambuh. Tepat di depan mata putra kecilnya yang murni, ia membantai istri dan laki-laki selingkuhan istrinya dengan keji.
Kejadian tragis itu menggegerkan ibukota kerajaan. Meskipun demikian, adat dan tradisi masa lalu masih berakar di Ming, sehingga sesadis apapun tindakan Gak Hui, masih dianggap wajar. Istri pejabat yang berselingkuh, sanksinya memang dibunuh langsung di tempat. Terserah mau dibunuh dengan cara apapun. Tak ada yang akan menyalahkan Gak Hui.
Namun, kejadian tersebut menjadi pukulan teramat berat bagi Gak Cin Lee, bocah yang sedang lucu-lucunya bermain dan belajar.
Peristiwa itu menorehkan segaris luka yang mendarahkan hati bersihnya. Merampas memori bahagianya.
Gak Hui sendiri berubah menjadi lelaki depresi dan frustasi. Kinerjanya lumpuh total. Penyakit lamanya kambuh. Jatuh dalam tekanan batin tak tertahankan. Emosinya tak menentu. Di satu sisi, ia sangat marah, kecewa dan patah hati atas pengkhianatan istrinya. Akan tetapi, di sisi lain, ia juga sedih dan menyesal karena terlanjur membunuh istri yang sangat dicintainya.
Puncaknya, Gak Hui melarikan diri dari kotaraja dengan membawa putranya yang masih polos. Putra bangsawan berilmu kesaktian tinggi itu memilih mengasingkan diri untuk mengobati kedukaan hatinya. Hidup bersama putranya selama bertahun-tahun di salah satu pulau kecil di antara ratusan pulau di Kepulauan Laut Tiongkok Selatan. Pulau itu dikelilingi Laut Tiongkok Selatan yang terpencil dari dunia luar.
Gak Hui menamai pulau itu sesuai dengan julukan putranya sewaktu dilahirkan, yaitu Yingjun.
Kepribadian Gak Hui semakin memburuk drastis semenjak patah hati hebat itu. Hampir gila. Terkadang meratap merindukan mendiang Ciu Hwa.
Namun, setiap kali teringat penyelewengan istrinya itu, ia marah-marah dan memaki-maki dengan kata-kata kotor. Saat perasaannya sedang kacau dan tidak waras, Cin Lee ditelantarkan. Anak ini terpaksa mencari makan dan mengurus diri sendiri. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, mental Gak Hui semakin parah. Ia mulai tak mampu mengurus diri. Sering bengong dan tidak mandi berhari-hari. Lupa makan dan minum. Jika ingat haus, ia menenggak arak simpanan yang dicurinya dalam jumlah besar dari rumah ayahnya.
Cin Lee kecil benar-benar menderita. Sampai akhirnya lama-lama terbiasa melihat ayahnya mabuk dan berkelakuan setengah sinting. Perkembangan selanjutnya, kondisi pun berbalik. Gak Cin Lee, bocah yang matang karbitan oleh keadaan ini, akhirnya terpaksa mengurus ayahnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Fiksi SejarahSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...