Ying Jun (2)

312 28 2
                                    

Betapapun labilnya, Gak Hui tidak kehilangan kesadarannya sebagai seorang ayah. Nilai-nilai baik yang diserapnya selama berguru di wilayah Barat cukup diingatnya. Akan tetapi, pergaulannya dengan orang-orang jianghu, melunturkan tekadnya untuk mengamalkan semua ilmu tersebut. Kadang ia menuruti nafsu, kadang ingat nilai baik. Ini yang menjadikan wataknya di kalangan jianghu dinilai aneh dan nyeleneh.

Namun, ia tak ingin putranya meniru sifat buruknya. Bila pikirannya sedang normal, Gak Hui hanya mengajarkan kebaikan. Ia juga menanamkan etika bergaul. Meskipun ia dulu jarang berada di rumah keluarga, kehidupan dan tata krama kaum bangsawan sedikit banyak masih dikuasainya. Etika itu pun diajarkannya pada Cin Lee. Jadi, tak heran, walaupun hidup di tengah pulau terpencil yang terkurung samudera, jauh dari keramaian, Cin Lee memiliki perilaku sehalus putra bangsawan. 

"Kau tidak boleh selamanya terkurung di pulau ini, Nak. Akan tiba masanya, kau menyeberang ke daratan Tiongkok. Menghadapi masyarakat beraneka ragam sifat dan lapisannya agar bisa mengamalkan ilmu demi kebaikan yang juga akan mengalir pada ayah. Maka dari itu, penting sekali bagimu untuk mempelajari semua tata krama ini, dan mengamalkannya, baik di masyarakat kalangan bawah maupun kalangan atas!" Demikian wejangannya pada Cin Lee.

Gak Hui juga menempa putranya dengan ilmu-ilmu kesaktian. Tak lupa pula mendidik Cin Lee dengan sifat-sifat mulia seorang pendekar dan seorang laki-laki sejati.

Hanya saja, jika teringat mendiang istri, maka cinta bercampur benci pun menyeruak di batinnya. Mempengaruhi arahan-arahan hidup yang diajarkan pada putranya. Dan itu cukup membias pada Cin Lee.  

"Hati-hati dengan wanita," nasehatnya di kala kumat.

"Ya, Ayah," sahut Cin Lee patuh. Kala itu usianya menjelang remaja. Interaksinya yang terbatas hanya dengan ayahnya, melahirkan karakter pendiam.

"Kau tak perlu berbelas kasihan pada mereka. Jangan pula menunjukkan perhatian. Ayah sudah berpengalaman, ditipu berkali-kali oleh wanita. Mereka juga suka menuduh pria tidak adil. Padahal kenyataannya, merekalah yang berlaku tak adil pada pria. Mereka penipu!" ucap Gak Hui berapi-api. 

"Bagaimana bisa mengatasi tipuan mereka, Ayah?"

"Jangan mendekati dan jangan mau didekati wanita! Camkan itu! Mereka itu makhluk yang tak bisa dipercaya!"

Cin Lee hanya menurut. Diam-diam menekan kerinduannya pada almarhum ibu. Sering ia menangis sembunyi-sembunyi. Namun, tetap tak mampu membenci ayahnya. Saat ini, ia hanya punya ayah. Dalam kondisi normal, ayah sangat sayang padanya. Lama-lama ia belajar untuk lebih memahami, dan memaklumi alasan kemarahan ayah terhadap ibu, serta menyadari latar belakang ayah yang tak suka kehidupan mewah para bangsawan berbalut sikap hipokrit. 

Untungnya sifat aneh ayah tidak menurun padanya. Cin Lee tidak ikut-ikutan liar, sebab lewat proses panjang, akhirnya mengerti tanggungjawabnya.

Akan tetapi, tak urung, ada juga pengaruh sang ayah yang menyusup ke relung batinnya. Pelan-pelan, ia juga mulai membangun tembok kehati-hatian terhadap makhluk bernama wanita. Takut menderita dan jadi gila gara-gara wanita seperti ayahnya. Takut pula terhadap sebuah rasa bernama cinta. Gara-gara cinta, nyawa ibu harus melayang di ujung pedang ayahnya. Tersebab cinta pulalah, ayahnya kadang-kadang serupa boneka hidup yang melamun memandangi rembulan. Cinta telah menyiksa kedua orangtuanya, merenggut dirinya dari hangat pelukan keluarga, memaksanya tinggal di pulau terpencil bertemankan sunyi. 

Kenyataan dramatis dan tragis di depan mata itu, mendekam di benak Cin Lee hingga beranjak remaja, menghasilkan anggapan bahwa cinta hanya akan melukai. Ia yang masih polos telah menjadi korban.

Pelan tapi pasti, merambatlah  kebenciannya terhadap perasaan bernama cinta dan pada makhluk bernama wanita.

"Dengar pesan terakhir ayah," ucap Gak Hui pada suatu hari dengan nafas cepat. Susah payah mengatur posisi duduknya. 

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang