Tombol Maut

176 17 0
                                    

Cin Lee tercenung di hadapan surat dengan tanda-tangan Putri Ming Ji Li di dalamnya. Can Liong berdiri dengan senyum lebar dan wajah berseri-seri.

“Sekarang tinggal tanda-tanganmu. Tak percaya? Silakan tanya sendiri! Mari ikut aku!” kata Can Liong melihat tampang bingung Cin Lee.

Pemuda itu lalu memberi isyarat pada Cin Lee untuk mengiringi. Mereka menempuh beberapa belokan di ruangan itu. Lalu menuruni tangga menuju ruang bawah tanah.

“Nah, kita sudah tiba.”

Gak Cin Lee menyaksikan Putri Ming Ji Li rebah miring dan meringkuk menghadap tembok. Hatinya terenyuh. Sang putri nampak lebih kurus.

“Aku ingin bicara berdua saja dengannya.”

“Ingat, tombol merah itu sangat peka!” cetus Can Liong sambil menatap dongkol. Dadanya panas. “Meskipun aku menginginkan tuan putri, tapi aku tak segan membunuhnya jika kau bertingkah!” tegasnya. Lalu demi meyakinkan Cin Lee, ia terpaksa menjauh sambil diam-diam pasang telinga.

“Sian Li!”

Gadis itu tersentak. Itu panggilan yang sangat akrab. Siapa yang berani memanggilnya dengan nama kecil di sini?

Ji Li sigap berbalik sambil meloncat berdiri dari lantai penjara. Bening mata birunya menyiratkan ketidakpercayaan.

“Anda di sini?”

Cin Lee hanya mengangguk.
Mereka sekejap saling menatap. Memperhatikan satu sama lain. Cin Lee agak iba melihat penampilan gadis itu. Putri Ming Ji Li selalu tampil bersih dan rapi. Tapi kini rambutnya kusut masai. Wajah pucat. Pakaian kotor. Namun seperti biasa, dalam keadaan apapun, gadis imut itu tetap menawan.

Ming Ji Li menekan keinginannya untuk menanyakan penyebab bercak-bercak merah yang menyeramkan di pakaian biru Cin Lee. Ia bisa menduga, itu akibat pertempuran untuk memasuki tempat ini. Pemuda inilah agaknya yang disebut oleh Can Liong dan anak buahnya sebagai ikan yang telah memakan umpan.

“Kau mengerti akibat dari menanda-tangani ini?” Cin Lee to the point memperlihatkan kertas berisi surat cerai.

“Saya mengerti,” sahut sang putri singkat.

”Dia ingin menikahimu.”

”Saya tahu.” Gadis itu mengedikkan bahunya. Menjebi. “Jika berani memaksa, maka dia hanya akan menikahi mayat.”

Cin Lee mengangguk-angguk.

“Mari kita rencanakan sesuatu.” Pemuda itu lirihkan suara sambil mendekatkan mukanya pada jeruji besi, supaya Can Liong tidak mendengar. Jemarinya melambaikan isyarat agar Ming Ji Li juga mendekat.
Gadis itu menurut. Dalam situasi seperti ini, menampakkan sikap permusuhan pada pemuda yang baru saja menjadi suaminya itu, hanya akan merugikan diri sendiri.

“Tempat ini sangat berbahaya. Penuh jebakan.” Ia berbisik. Tepat ke telinga sang putri.
Mereka sama-sama terlalu tegang untuk menyadari rapatnya posisi ini, meski terhalang jeruji. Ji Li tak tahu kondisi di luar, sehingga tak punya pilihan selain mempercayai penuturan singkat Cin Lee mengenai kondisi Bukit Sunyi dan perangkap dalam ruangan penjara. Pemuda itu kemudian membeberkan rencananya.

Ji Li menyimak dengan serius. Sesekali mengangguk sepakat.
Sementara itu, Can Liong setengah mati menahan cemburu. Ia bolak balik gelisah di lorong menuju penjara. Baru lega saat melihat Cin Lee berjalan ke arahnya.

“Ini.” Pendekar muda itu menyodorkan kertas di tangannya. “Sudah kutanda-tangani pula,” ucapnya, menampakkan wajah keruh.

Can Liong serasa ingin melonjak saking senangnya.

SENYUM MUSIM SEMI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang