Bulan sabit masih menggantung di langit kelam seperti malam-malam sebelumnya. Tapi malam ini ukuran sang sabit gemilang sedikit lebih gemuk. Bintang-bintang berpijar indah.
Cin Lee menengadahkan kepala. Menatap angkasa, jauh di luar kota Lok Yang.
Biasanya, tengah malam begini, ia suka duduk merenungi kebesaran Tuhan dengan mengamati langit. Lalu pelupuk matanya akan menghangat. Dan satu dua tetes bening akan jatuh ke atas pipinya. Tanda syukur atas nikmat Tuhan dan menyadari betapa kecil, lemah dan terbatas dirinya sebagai makhluk Tuhan.
Namun kali ini, renungannya tidak fokus. Setiap ingin menjernihkan pikiran, kerlip-kerlip bintang di langit berubah menjadi kilau mutiara sebiru lautan.
Cin Lee mengusap dadanya. Lalu menghela napas panjang seperti orang dilanda beban pikiran berat. Mengisi paru-parunya dengan udara penuh. Lalu mengembuskannya pelan.
Agaknya doanya siang tadi benar-benar dikabulkan Tuhan. Seharusnya ia lega. Sudah terbebas dari gadis bangsawan bermata samudera itu. Tapi ternyata tidak. Ia malah gelisah. Bukan bebas dengan cara begini, yang diinginkannya.
Segores sesal berbilur waswas melintas di hati. Ia sudah melakukan pencarian bersama orang-orang kota ke seluruh penjuru Lok Yang. Bahkan penguasa daerah pun turut menurunkan pasukan untuk melakukan pencarian. Namun putri bungsu kaisar itu benar-benar lenyap tak berbekas.
Pencarian diperluas ke luar kota. Tiada terduga, mereka berpapasan dengan pasukan khusus dari kota raja yang sedang melakukan pencarian pula.
Sungguh nasibnya kurang beruntung. Ternyata pasukan khusus itu mengetahui identitasnya. Tiba-tiba saja, ratusan tombak mereka telah teracung mengancamnya. Cin Lee masih ingat betul teriakan-teriakan marah mereka.
“Ini dia penjahat hina itu!”
“Penculik Tuan Putri!”
“Perusak kehormatan anggota keluarga kaisar! Penjahat keji!”
“Tangkap!”
Tak mudah bagi Cin Lee untuk merubuhkan pasukan kerajaan itu tanpa melukai dan membunuh mereka. Ia tak ingin jatuh korban yang akan memperbesar kesalahpahaman.
Akhirnya Cin Lee memilih untuk melesat pergi. Lari non-stop secepat-cepatnya menjauhi pasukan tersebut. Hingga akhirnya ia tiba di sini. Dalam sebuah hutan belantara yang gelap.
Lama ia merenung. Berkali-kali menarik nafas dalam untuk meredakan kegelisahannya. Menelisik hati sampai ke relung terdalam. Kecemasan ini belum pernah dirasakannya. Seolah-olah, sebentar lagi ia akan menghadapi bahaya yang lebih besar. Apa yang akan terjadi setelah ini? Darimana ia harus menelusuri penyebab masalah?
Sepanjang sepak terjangnya di dunia jianghu, ia selalu rasional. Tak sekali dua menolong perempuan, tua atau muda, tak peduli penampilan atau usianya. Dan yang terbetik di pikirannya hanyalah keharusan untuk memberikan pertolongan. Memenuhi dorongan tanggungjawab sebagai seorang ksatrya, seorang pendekar pelindung. Itu saja. Titik. Ia tak pernah melibatkan perasaan yang lebih dari sekedar rasa kasihan atau rasa kemanusiaan. Dan setelah menolong, ia tak pernah mengingatnya lagi dan tak ingin terikat.
Akan tetapi, kali ini ia tak bisa tenang jika belum memastikan keberadaan gadis itu. Padahal bisa saja ia berpaling, tak acuh seperti biasanya, dan melanjutkan petualangannya ke wilayah lain.
Ada hal menggelitik hati, yang harus dibicarakannya dengan Putri Ming Ji Li. Karena nampaknya, kejadian yang menimpa mereka, akan memunculkan dampak yang tak bisa dipandang remeh.
Mendadak, pendengarannya yang terlatih, menangkap sayup suara senandung merdu. Lalu samar-samar diakhiri dengan suara ketawa renyah.
Cin Lee menajamkan pendengaran. Mencari sumber suara. Pelan-pelan mengayun langkah menuju ke sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYUM MUSIM SEMI
Historical FictionSebuah jebakan licik, mempertemukan Gak Cin Lee, seorang pendekar sedingin salju, dengan Ming Ji Li, putri Kaisar Ming Thai Zhu yang manja dan arogan. Tekanan fitnah politik memaksanya menerima ikatan pernikahan dengan sang putri. Padahal ia memilik...